Pengertian, Fungsi dan Bidang Manajemen
A. Pengertian Manajemen Sekolah
Dalam konteks pendidikan, memang masih ditemukan kontroversi dan inkonsistensi dalam penggunaan istilah manajemen. Di satu pihak ada yang tetap cenderung menggunakan istilah manajemen, sehingga dikenal dengan istilah manajemen pendidikan. Di lain pihak, tidak sedikit pula yang menggunakan istilah administrasi sehingga dikenal istilah adminitrasi pendidikan. Dalam studi ini, penulis cenderung untuk mengidentikkan keduanya, sehingga kedua istilah ini dapat digunakan dengan makna yang sama.
Selanjutnya, di bawah ini akan disampaikan beberapa pengertian umum tentang manajemen yang disampaikan oleh beberapa ahli. Dari Kathryn . M. Bartol dan David C. Martin yang dikutip oleh A.M. Kadarman SJ dan Jusuf Udaya (1995) memberikan rumusan bahwa :
“Manajemen adalah proses untuk mencapai tujuan – tujuan organisasi dengan melakukan kegiatan dari empat fungsi utama yaitu merencanakan
(planning), mengorganisasi (organizing), memimpin (leading), dan mengendalikan (controlling). Dengan demikian, manajemen adalah sebuah kegiatan yang berkesinambungan”.
Sedangkan dari Stoner sebagaimana dikutip oleh T. Hani Handoko (1995)
mengemukakan bahwa :
“Manajemen adalah proses perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, dan pengawasan usaha-usaha para anggota organisasi dan penggunaan sumber daya-sumber daya organisasi lainnya agar mencapai tujuan organisasi yang telah ditetapkan”.
Secara khusus dalam konteks pendidikan, Djam’an Satori (1980) memberikan pengertian manajemen pendidikan dengan menggunakan istilah administrasi pendidikan yang diartikan sebagai “keseluruhan proses kerjasama dengan memanfaatkan semua sumber personil dan materil yang tersedia dan sesuai
untuk mencapai tujuan pendidikan yang telah ditetapkan secara efektif dan efisien”. Sementara itu, Hadari Nawawi (1992) mengemukakan bahwa
“administrasi pendidikan sebagai rangkaian kegiatan atau keseluruhan proses pengendalian usaha kerjasama sejumlah orang untuk mencapai tujuan pendidikan secara sistematis yang diselenggarakan di lingkungan tertentu terutama berupa lembaga pendidikan formal”.
Meski ditemukan pengertian manajemen atau administrasi yang beragam, baik yang bersifat umum maupun khusus tentang kependidikan, namun secara esensial dapat ditarik benang merah tentang pengertian manajemen pendidikan, bahwa : (1) manajemen pendidikan merupakan suatu kegiatan; (2) manajemen pendidikan memanfaatkan berbagai sumber daya; dan (3) manajemen pendidikan berupaya untuk mencapai tujuan tertentu.
B. Fungsi Manajemen
Dikemukakan di atas bahwa manajemen pendidikan merupakan suatu kegiatan. Kegiatan dimaksud tak lain adalah tindakan-tindakan yang mengacu kepada fungsi-fungsi manajamen. Berkenaan dengan fungsi-fungsi manajemen ini, H. Siagian (1977) mengungkapkan pandangan dari beberapa ahli, sebagai berikut:
Menurut G.R. Terry terdapat empat fungsi manajemen, yaitu :
1) planning (perencanaan);
2) organizing (pengorganisasian);
3) actuating (pelaksanaan); dan
4) controlling (pengawasan).
Sedangkan menurut Henry Fayol terdapat lima fungsi manajemen, meliputi :
1) planning (perencanaan);
2) organizing (pengorganisasian);
3) commanding (pengaturan);
4) coordinating (pengkoordinasian); dan
5) controlling (pengawasan).
Sementara itu, Harold Koontz dan Cyril O’ Donnel mengemukakan lima
fungsi manajemen, mencakup :
1) planning (perencanaan);
2) organizing (pengorganisasian);
3) staffing (penentuan staf);
4) directing (pengarahan); dan
5) controlling (pengawasan).
Selanjutnya, L. Gullick mengemukakan tujuh fungsi manajemen, yaitu :
1) planning (perencanaan);
2) organizing (pengorganisasian);
3) staffing (penentuan staf);
4) directing (pengarahan);
5) coordinating (pengkoordinasian);
6) reporting (pelaporan); dan
7) budgeting (penganggaran).
Untuk memahami lebih jauh tentang fungsi-fungsi manajemen pendidikan, dibawah akan dipaparkan tentang fungsi-fungsi manajemen pendidikan dalam perspektif persekolahan, dengan merujuk kepada pemikiran G.R. Terry, meliputi : (1) perencanaan (planning); (2) pengorganisasian (organizing); (3) pelaksanaan (actuating) dan (4) pengawasan (controlling).
1. Perencanaan (planning)
Perencanaan tidak lain merupakan kegiatan untuk menetapkan tujuan yang akan dicapai beserta cara-cara untuk mencapai tujuan tersebut. Sebagaimana disampaikan oleh Louise E. Boone dan David L. Kurtz
(1984) bahwa: planning may be defined as the proses by which manager set objective, asses the future, and develop course of action designed to accomplish these objective. Sedangkan T. Hani Handoko (1995) mengemukakan bahwa :
“ Perencanaan (planning) adalah pemilihan atau penetapan tujuan organisasi dan penentuan strategi, kebijaksanaan, proyek, program, prosedur, metode, sistem, anggaran dan standar yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan. Pembuatan keputusan banyak terlibat dalam fungsi ini.”
Arti penting perencanaan terutama adalah memberikan kejelasan arah bagi setiap kegiatan, sehingga setiap kegiatan dapat diusahakan dan dilaksanakan seefisien dan seefektif mungkin. T. Hani Handoko mengemukakan sembilan manfaat perencanaan bahwa perencanaan: (a) membantu manajemen untuk menyesuaikan diri dengan perubahan- perubahan lingkungan; (b) membantu dalam kristalisasi persesuaian pada masalah-masalah utama; (c) memungkinkan manajer memahami keseluruhan gambaran; (d) membantu penempatan tanggung jawab lebih tepat; (e) memberikan cara pemberian perintah untuk beroperasi; (f) memudahkan dalam melakukan koordinasi di antara berbagai bagian organisasi; (g) membuat tujuan lebih khusus, terperinci dan lebih mudah dipahami; (h) meminimumkan pekerjaan yang tidak pasti; dan (i) menghemat waktu, usaha dan dana.
Indriyo Gito Sudarmo dan Agus Mulyono (1996) mengemukakan langkah-langkah pokok dalam perencanaan, yaitu :
a. Penentuan tujuan dengan memenuhi persyaratan sebagai berikut :
(1) menggunakan kata-kata yang sederhana, (2) mempunyai sifat fleksibel, (3) mempunyai sifat stabilitas, (4) ada dalam perimbangan sumber daya, dan (5) meliputi semua tindakan yang diperlukan.
b. Pendefinisian gabungan situasi secara baik, yang meliputi unsur sumber daya manusia, sumber daya alam, dan sumber daya modal.
c. Merumuskan kegiatan yang akan dilaksanakan secara jelas dan tegas.
Hal senada dikemukakan pula oleh T. Hani Handoko (1995) bahwa terdapat empat tahap dalam perencanaan, yaitu : (a) menetapkan tujuan atau serangkaian tujuan; (b) merumuskan keadaan saat ini; (c) mengidentifikasi segala kemudahan dan hambatan; (d) mengembangkan rencana atau serangkaian kegiatan untuk pencapaian tujuan.
Pada bagian lain, Indriyo Gito Sudarmo dan Agus Mulyono (1996) mengemukakan bahwa atas dasar luasnya cakupan masalah serta jangkauan yang terkandung dalam suatu perencanaan, maka perencanaan dapat dibedakan dalam tiga bentuk, yaitu : (1) rencana global yang merupakan penentuan tujuan secara menyeluruh dan jangka panjang, (2) rencana strategis merupakan rencana yang disusun guna menentukan tujuan-tujuan kegiatan atau tugas yang mempunyai arti strategis dan mempunyai dimensi jangka panjang, dan (3) rencana operasional yang merupakan rencana kegiatan-kegiatan yang berjangka pendek guna menopang pencapaian tujuan jangka panjang, baik dalam perencanaan global maupun perencanaan strategis.
Perencanaan strategik akhir-akhir ini menjadi sangat penting sejalan dengan perkembangan lingkungan yang sangat pesat dan sangat sulit diprediksikan, seperti perkembangan teknologi yang sangat pesat, pekerjaan manajerial yang semakin kompleks, dan percepatan perubahan lingkungan eksternal lainnya.
Pada bagian lain, T. Hani Handoko memaparkan secara ringkas tentang langkah-langkah dalam penyusunan perencanaan strategik, sebagai berikut:
a. Penentuan misi dan tujuan, yang mencakup pernyataan umum tentang misi, falsafah dan tujuan. Perumusan misi dan tujuan ini merupakan tanggung jawab kunci manajer puncak. Perumusan ini dipengaruhi oleh nilai-nilai yang dibawakan manajer. Nilai-nilai ini dapat mencakup masalah-masalah sosial dan etika, atau masalah-masalah umum seperti macam produk atau jasa yang akan diproduksi atau cara pengoperasian perusahaan.
b. Pengembangan profil perusahaan, yang mencerminkan kondisi internal dan kemampuan perusahaan dan merupakan hasil analisis internal untuk mengidentifikasi tujuan dan strategi sekarang, serta memerinci kuantitas dan kualitas sumber daya -sumber daya perusahaan yang tersedia. Profil perusahaan menunjukkan kesuksesan perusahaan di masa lalu dan kemampuannya untuk mendukung pelaksanaan kegiatan sebagai implementasi strategi dalam pencapaian tujuan di masa yang akan datang.
c. Analisa lingkungan eksternal, dengan maksud untuk mengidentifikasi cara-cara dan dalam apa perubahan-perubahan lingkungan dapat mempengaruhi organisasi. Disamping itu, perusahaan perlu mengidentifikasi lingkungan lebih khusus, seperti para penyedia, pasar organisasi, para pesaing, pasar tenaga kerja dan lembaga-lembaga keuangan, di mana kekuatan-kekuatan ini akan mempengaruhi secara langsung operasi perusahaan.
Meski pendapat di atas lebih menggambarkan perencanaan strategik dalam konteks bisnis, namun secara esensial konsep perencanaan strategik ini dapat diterapkan pula dalam konteks pendidikan, khususnya pada tingkat persekolahan, karena memang pendidikan di Indonesia dewasa ini sedang menghadapi berbagai tantangan internal maupun eksternal, sehingga membutuhkan perencanaan yang benar-benar dapat menjamin sustanabilitas pendidikan itu sendiri.
2. Pengorganisasian (organizing)
Fungsi manajemen berikutnya adalah pengorganisasian (organizing). George R. Terry (1986) mengemukakan bahwa :
“Pengorganisasian adalah tindakan mengusahakan hubungan-hubungan kelakuan yang efektif antara orang-orang, sehingga mereka dapat bekerja sama secara efisien, dan memperoleh kepuasan pribadi dalam melaksanakan tugas-tugas tertentu, dalam kondisi lingkungan tertentu guna mencapai tujuan atau sasaran tertentu”.
pengorganisasian : “… as the act of planning and implementing organization structure. It is the process of arranging people and physical resources to carry out plans and acommplishment organizational obtective”.
Dari kedua pendapat di atas, dapat dipahami bahwa pengorganisasian pada dasarnya merupakan upaya untuk melengkapi rencana-rencana yang telah dibuat dengan susunan organisasi pelaksananya. Hal yang penting untuk diperhatikan dalam pengorganisasian adalah bahwa setiap kegiatan harus jelas siapa yang mengerjakan, kapan dikerjakan, dan apa targetnya.
Berkenaan dengan pengorganisasian ini, Hadari Nawawi (1992) mengemukakan beberapa asas dalam organisasi, diantaranya adalah : (a) organisasi harus profesional, yaitu dengan pembagian satuan kerja yang sesuai dengan kebutuhan; (b) pengelompokan satuan kerja harus menggambarkan pembagian kerja; (c) organisasi harus mengatur pelimpahan wewenang dan tanggung jawab; (d) organisasi harus mencerminkan rentangan kontrol; (e) organisasi harus mengandung kesatuan perintah; dan (f) organisasi harus fleksibel dan seimbang.
Ernest Dale seperti dikutip oleh T. Hani Handoko mengemukakan tiga langkah dalam proses pengorganisasian, yaitu : (a) pemerincian seluruh pekerjaan yang harus dilaksanakan untuk mencapai tujuan organisasi; (b) pembagian beban pekerjaan total menjadi kegiatan-kegiatan yang logik dapat dilaksanakan oleh satu orang; dan (c) pengadaan dan pengembangan suatu mekanisme untuk mengkoordinasikan pekerjaan para anggota menjadi kesatuan yang terpadu dan harmonis.
3. Pelaksanaan (actuating)
Dari seluruh rangkaian proses manajemen, pelaksanaan (actuating) merupakan fungsi manajemen yang paling utama. Dalam fungsi perencanaan dan pengorganisasian lebih banyak berhubungan dengan aspek-aspek abstrak proses manajemen, sedangkan fungsi actuating justru
lebih menekankan pada kegiatan yang berhubungan langsung dengan orang-orang dalam organisasi
Dalam hal ini, George R. Terry (1986) mengemukakan bahwa actuating merupakan usaha menggerakkan anggota-anggota kelompok sedemikian rupa hingga mereka berkeinginan dan berusaha untuk mencapai sasaran perusahaan dan sasaran anggota-anggota perusahaan tersebut oleh karena para anggota itu juga ingin mencapai sasaran-sasaran tersebut.
Dari pengertian di atas, pelaksanaan (actuating) tidak lain merupakan upaya untuk menjadikan perencanaan menjadi kenyataan, dengan melalui berbagai pengarahan dan pemotivasian agar setiap karyawan dapat melaksanakan kegiatan secara optimal sesuai dengan peran, tugas dan tanggung jawabnya.
Hal yang penting untuk diperhatikan dalam pelaksanan (actuating) ini adalah bahwa seorang karyawan akan termotivasi untuk mengerjakan sesuatu jika : (1) merasa yakin akan mampu mengerjakan, (2) yakin bahwa pekerjaan tersebut memberikan manfaat bagi dirinya, (3) tidak sedang dibebani oleh problem pribadi atau tugas lain yang lebih penting, atau mendesak, (4) tugas tersebut merupakan kepercayaan bagi yang bersangkutan dan (5) hubungan antar teman dalam organisasi tersebut harmonis.
4. Pengawasan (controlling)
Pengawasan (controlling) merupakan fungsi manajemen yang tidak kalah pentingnya dalam suatu organisasi. Semua fungsi terdahulu, tidak akan efektif tanpa disertai fungsi pengawasan. Dalam hal ini, Louis E. Boone dan David L. Kurtz (1984) memberikan rumusan tentang pengawasan sebagai : “… the process by which manager determine wether actual operation are consistent with plans”.
Sementara itu, Robert J. Mocker sebagaimana disampaikan oleh T. Hani
Handoko (1995) mengemukakan definisi pengawasan yang di dalamnya memuat unsur esensial proses pengawasan, bahwa :
“Pengawasan manajemen adalah suatu usaha sistematik untuk menetapkan standar pelaksanaan dengan tujuan – tujuan perencanaan, merancang sistem informasi umpan balik, membandingkan kegiatan nyata dengan standar yang telah ditetapkan sebelumnya, menentukan dan mengukur penyimpangan-penyimpangan, serta mengambil tindakan koreksi yang diperlukan untuk menjamin bahwa semua sumber daya perusahaan dipergunakan dengan cara paling efektif dan efisien dalam pencapaian tujuan-tujuan perusahaan.”
Dengan demikian, pengawasan merupakan suatu kegiatan yang berusaha untuk mengendalikan agar pelaksanaan dapat berjalan sesuai dengan rencana dan memastikan apakah tujuan organisasi tercapai. Apabila terjadi penyimpangan di mana letak penyimpangan itu dan bagaimana pula tindakan yang diperlukan untuk mengatasinya.
Selanjutnya dikemukakan pula oleh T. Hani Handoko bahwa proses pengawasan memiliki lima tahapan, yaitu : (a) penetapan standar pelaksanaan; (b) penentuan pengukuran pelaksanaan kegiatan; (c) pengukuran pelaksanaan kegiatan nyata; (d) pembandingan pelaksanaan kegiatan dengan standar dan penganalisaan penyimpangan-penyimpangan; dan (e) pengambilan tindakan koreksi, bila perlu.
Fungsi-fungsi manajemen ini berjalan saling berinteraksi dan saling kait mengkait antara satu dengan lainnya, sehingga menghasilkan apa yang disebut dengan proses manajemen. Dengan demikian, proses manajemen sebenarnya merupakan proses interaksi antara berbagai fungsi manajemen.
Dalam perspektif persekolahan, agar tujuan pendidikan di sekolah dapat tercapai secara efektif dan efisien, maka proses manajemen pendidikan memiliki peranan yang amat vital. Karena bagaimana pun sekolah merupakan suatu sistem yang di dalamnya melibatkan berbagai komponen dan sejumlah kegiatan yang perlu dikelola secara baik dan tertib. Sekolah tanpa didukung proses manajemen yang baik, boleh jadi hanya akan menghasilkan kesemrawutan lajunya organisasi, yang pada gilirannya tujuan pendidikan pun tidak akan pernah tercapai secara semestinya.
Dengan demikian, setiap kegiatan pendidikan di sekolah harus memiliki perencanaan yang jelas dan realisitis, pengorganisasian yang efektif dan efisien, pengerahan dan pemotivasian seluruh personil sekolah untuk selalu dapat meningkatkan kualitas kinerjanya, dan pengawasan secara berkelanjutan.
C. Bidang Kegiatan Pendidikan
Berbicara tentang kegiatan pendidikan, di bawah ini beberapa pandangan dari para ahli tentang bidang-bidang kegiatan yang menjadi wilayah garapan manajemen pendidikan. Ngalim Purwanto (1986) mengelompokkannya ke dalam tiga bidang garapan yaitu :
1) Administrasi material, yaitu kegiatan yang menyangkut bidang-bidang materi/ benda-benda, seperti ketatausahaan sekolah, administrasi keuangan, gedung dan alat-alat perlengkapan sekolah dan lain-lain.
2) Administrasi personal, mencakup di dalamnya administrasi personal guru dan pegawai sekolah, juga administrasi murid. Dalam hal ini masalah
kepemimpinan dan supervisi atau kepengawasan memegang peranan yang sangat penting.
3) Administrasi kurikulum, seperti tugas mengajar guru-guru, penyusunan sylabus atau rencana pengajaran tahunan, persiapan harian dan mingguan dan sebagainya.
Hal serupa dikemukakan pula oleh M. Rifa’i (1980) bahwa bidang-bidang administrasi pendidikan terdiri dari :
1) Bidang kependidikan atau bidang edukatif, yang menyangkut kurikulum, metode dan cara mengajar, evaluasi dan sebagainya.
2) Bidang personil, yang mencakup unsur-unsur manusia yang belajar, yang mengajar, dan personil lain yang berhubungan dengan kegiatan belajar mengajar.
3) Bidang alat dan keuangan, sebagai alat-alat pembantu untuk melancarkan siatuasi belajar mengajar dan untuk mencapai tujuan pendidikan sebaik- baiknya.
Sementara itu, Thomas J. Sergiovani sebagimana dikutip oleh Uhar Suharsaputra (2002) mengemukakan delapan bidang administrasi pendidikan, mencakup : (1) instruction and curriculum development; (2) pupil personnel;
(3) community school leadership; (4) staff personnel; (5) school plant; (6) school trasportation; (7) organization and structure dan (8) School finance and business management.
Di lain pihak, Direktorat Pendidikan Menengah Umum Depdiknas (1999) telah menerbitkan buku Panduan Manajemen Sekolah, yang didalamnya mengetengahkan bidang-bidang kegiatan manajemen pendidikan, meliputi: (1) manajemen kurikulum; (2) manajemen personalia; (3) manajemen kesiswaan;
(4) manajemen keuangan; (5) manajemen perawatan preventif sarana dan prasarana sekolah.
Dari beberapa pendapat di atas, agaknya yang perlu digarisbawahi yaitu mengenai bidang administrasi pendidikan yang dikemukakan oleh
Thomas J. Sergiovani. Dalam konteks pendidikan di Indonesia saat ini,
pandangan Thomas J. Sergiovani kiranya belum sepenuhnya dapat dilaksanakan, terutama dalam bidang school transportation dan business management. Dengan alasan tertentu, kebijakan umum pendidikan nasional belum dapat menjangkau ke arah sana. Kendati demikian, dalam kerangka peningkatkan mutu pendidikan, ke depannya pemikiran ini sangat menarik untuk diterapkan menjadi kebijakan pendidikan di Indonesia.
Merujuk kepada kebijakan Direktorat Pendidikan Menengah Umum Depdiknas dalam buku Panduan Manajemen Sekolah, berikut ini akan diuraikan secara ringkas tentang bidang-bidang kegiatan pendidikan di sekolah, yang mencakup :
1) Manajemen kurikulum;
Manajemen kurikulum merupakan subtansi manajemen yang utama di sekolah. Prinsip dasar manajemen kurikulum ini adalah berusaha agar proses pembelajaran dapat berjalan dengan baik, dengan tolok ukur pencapaian tujuan oleh siswa dan mendorong guru untuk menyusun dan terus menerus menyempurnakan strategi pembelajarannya. Tahapan manajemen kurikulum di sekolah dilakukan melalui empat tahap : (a) perencanaan; (b) pengorganisasian dan koordinasi; (c) pelaksanaan; dan
(d) pengendalian.
Siklus Manajemen Kurikulum
Tahap perencanaan meliputi langkah-langkah sebagai : (1) analisis kebutuhan; (2) merumuskan dan menjawab pertanyaan filosofis; (3) menentukan disain kurikulum; dan (4) membuat rencana induk (master plan): pengembangan, pelaksanaan, dan penilaian.
Tahap pengembangan meliputi langkah-langkah : (1) perumusan rasional atau dasar pemikiran; (2) perumusan visi, misi, dan tujuan; (3) penentuan struktur dan isi program; (4) pemilihan dan pengorganisasian materi; (5) pengorganisasian kegiatan pembelajaran; (6) pemilihan sumber, alat, dan sarana belajar; dan (7) penentuan cara mengukur hasil belajar.
Tahap implementasi atau pelaksanaan meliputi langkah-langkah: (1) penyusunan rencana dan program pembelajaran (Silabus, RPP: Rencana Pelaksanaan Pembelajaran); (2) penjabaran materi (kedalaman dan keluasan); (3) penentuan strategi dan metode pembelajaran; (4) penyediaan sumber, alat, dan sarana pembelajaran; (5) penentuan cara dan alat penilaian proses dan hasil belajar; dan (6) setting lingkungan pembelajaran Tahap penilaian terutama dilakukan untuk melihat sejauhmana kekuatan dan kelemahan dari kurikulum yang dikembangkan, baik bentuk penilaian formatif maupun sumatif. Penilailain kurikulum dapat mencakup Konteks, input, proses, produk (CIPP) : Penilaian konteks: memfokuskan pada pendekatan sistem dan tujuan, kondisi aktual, masalah-masalah dan peluang. Penilaian Input: memfokuskan pada kemampuan sistem, strategi pencapaian tujuan, implementasi design dan cost benefit dari rancangan. Penilaian proses memiliki fokus yaitu pada penyediaan informasi untuk pembuatan keputusan dalam melaksanakan program. Penilaian product berfokus pada mengukur pencapaian proses dan pada akhir program
(identik dengan evaluasi sumatif)
2) Manajemen Kesiswaan
Dalam manajemen kesiswaan terdapat empat prinsip dasar, yaitu : (a)siswa harus diperlakukan sebagai subyek dan bukan obyek, sehingga harus didorong untuk berperan serta dalam setiap perencanaan dan pengambilan keputusan yang terkait dengan kegiatan mereka; (b) kondisi siswa sangat beragam, ditinjau dari kondisi fisik, kemampuan intelektual, sosial ekonomi, minat dan seterusnya. Oleh karena itu diperlukan wahana kegiatan yang beragam, sehingga setiap siswa memiliki wahana untuk berkembang secara optimal; (c) siswa hanya termotivasi belajar, jika mereka menyenangi apa yang diajarkan; dan (d) pengembangan potensi siswa tidak hanya menyangkut ranah kognitif, tetapi juga ranah afektif, dan psikomotor.
3) Manajemen personalia
Terdapat empat prinsip dasar manajemen personalia yaitu : (a) dalam mengembangkan sekolah, sumber daya manusia adalah komponen paling berharga; (b) sumber daya manusia akan berperan secara optimal jika dikelola dengan baik, sehingga mendukung tujuan institusional; (c) kultur dan suasana organisasi di sekolah, serta perilaku manajerial sekolah sangat berpengaruh terhadap pencapaian tujuan pengembangan sekolah; dan (d) manajemen personalia di sekolah pada prinsipnya mengupayakan agar setiap warga dapat bekerja sama dan saling mendukung untuk mencapai tujuan sekolah.
Disamping faktor ketersediaan sumber daya manusia, hal yang amat penting dalam manajamen personalia adalah berkenaan penguasaan kompetensi dari para personil di sekolah. Oleh karena itu, upaya pengembangan kompetensi dari setiap personil sekolah menjadi mutlak diperlukan.
4) Manajemen keuangan
Manajemen keuangan di sekolah terutama berkenaan dengan kiat sekolah dalam menggali dana, kiat sekolah dalam mengelola dana, pengelolaan keuangan dikaitkan dengan program tahunan sekolah, cara mengadministrasikan dana sekolah, dan cara melakukan pengawasan, pengendalian serta pemeriksaan.
Inti dari manajemen keuangan adalah pencapaian efisiensi dan efektivitas. Oleh karena itu, disamping mengupayakan ketersediaan dana yang memadai untuk kebutuhan pembangunan maupun kegiatan rutin operasional di sekolah, juga perlu diperhatikan faktor akuntabilitas dan transparansi setiap penggunaan keuangan baik yang bersumber pemerintah, masyarakat dan sumber-sumber lainnya.
5) Manajemen perawatan preventif sarana dan prasana sekolah
Manajemen perawatan preventif sarana dan prasana sekolah merupakan tindakan yang dilakukan secara periodik dan terencana untuk merawat fasilitas fisik, seperti gedung, mebeler, dan peralatan sekolah lainnya, dengan tujuan untuk meningkatkan kinerja, memperpanjang usia pakai, menurunkan biaya perbaikan dan menetapkan biaya efektif perawatan sarana dan pra sarana sekolah.
Dalam manajemen ini perlu dibuat program perawatan preventif di sekolah dengan cara pembentukan tim pelaksana, membuat daftar sarana dan pra saran, menyiapkan jadwal kegiatan perawatan, menyiapkan lembar evaluasi untuk menilai hasil kerja perawatan pada masing-masing bagian dan memberikan penghargaan bagi mereka yang berhasil meningkatkan kinerja peralatan sekolah dalam rangka meningkatkan kesadaran merawat sarana dan prasarana sekolah.
Sedangkan untuk pelaksanaannya dilakukan : pengarahan kepada tim pelaksana, mengupayakan pemantauan bulanan ke lokasi tempat sarana dan prasarana, menyebarluaskan informasi tentang program perawatan preventif untuk seluruh warga sekolah, dan membuat program lomba perawatan terhadap sarana dan fasilitas sekolah untuk memotivasi warga sekolah.
Selasa, 16 Juni 2009
Staf Pengajar SMA 3 Banjar
1 Drs. Kusdiaman, M.Pd Kimia
2 Dra. Ema Kusmawati Ekonomi,BP/BK
3 H. Totong H. SPd Geografi
4 Drs. H. Dadang P Biologi
5 Drs. Dede Akhiriana Bhs. Indonesia
6 Endang Heryadi Sejarah
7 Lilis Rinalia. SPd.M.Pd Bhs. Inggris
8 Yadi Iskandar,S.Pd Biologi,PLH
9 Deni Danial. SPd Penjaskes
10 Lilis Rahmaniawati. Ir.M.Pd Ekonomi,Sosiologi,B.Sunda
11 Iip Syarif H, S.P Matematika
11 Yati Heryanti S. Sn Ak Seni
12 Kinkin Komala,S.Pd.M.Pd Biologi
13 Nanang Sukmana. SPd Ekonomi,Bhs. Indonesia
14 Yeni Setiawati. SPd Ekonomi,Bhs. Sunda
15 A. Dadan N. SPd Bhs. Inggris
16 Heny Dwi M . SPd Si Kimia
17 Syarifah. SPd Kimia
18 Ujang Herdiana. SPd Penjaskes
19 Ngatemi. SPd Geografi
20 Herawati. SPd PKn
21 Nanang Robiana. SPd Matematika
22 Elis Ninik. SPd Bhs. Inggris
23 Iin Sarqiah. SE.M.Pd Ekonomi,Bhs. Ind
24 Jejen Abdul H. SPd.M.M Fisika
25 Uky Rochyati. SPd BP/BK
26 Erna Maryati. SPd Ekonomi,TIK
27 Agus Saepudin. SAg Pend. Agama
28 Yeni Yuliani,S.Ag Pend. Agama
29 Sri Dian Purwanti,S.Pd Sejarah
30 Hilman Fauzan,S.Pd B. Inggris,Ket.B.Inggris
31 Iqbal Issaqhozi,S.Pd TIK,Komputer
32 Krisman Yuanti,S.Sos Sosiologi
33 Hanhan Handariyah,SE Agama Islam,Ekonomi
34 Heryanto,S.Pd Pkn,Sejarah
35 Aas Sumarna,S.Pd Geografi,Sejarah
36 Encang Zaenal,S.Pd Bahasa Inggris,Ket.B.Inggris
37 Rida Permana,S.Pd Penjaskes
38 Restu Widayat,S.Pd Bhs. Indonesia
39 Ivan Mahendrawanto,SH Pkn,Sejarah
40 Budi S. Nugroto,S.Pd Bhs. Indonesia
41 Krise Mulyadi,S.Pd Matematika
42 Sri Wahyuni,S.Pd Matematika
43 Dadan Hendaryana .S.Pd Kesenian
44 Rian Tobera.S.T Fisika
45 Ani Setiyowati. SPd TIK
46 Heni. SPd Bhs. Indonesia
47 Happy K. SPd Bhs. Inggris
48 Rita Rosita. SPd Matematika
49 Iis Rostiawati. S.P.d.I Pend. Agama
50 Endah W. SPd B.Sunda
51 Iis Setiasih. SPd Bhs. Inggris
52 Siti Julaeha,S.Pd PLH
54 Desty Muliani N,S.Pd B.Indonesia,B.Sunda
55 Endang Roni,S.Pd Matematika
56 Hastuti Yenni F,S.Pd Fisika
57 Andi Masmunandi,S.T BP/BK
58 Nurul Hidayati,S.T TIK
2 Dra. Ema Kusmawati Ekonomi,BP/BK
3 H. Totong H. SPd Geografi
4 Drs. H. Dadang P Biologi
5 Drs. Dede Akhiriana Bhs. Indonesia
6 Endang Heryadi Sejarah
7 Lilis Rinalia. SPd.M.Pd Bhs. Inggris
8 Yadi Iskandar,S.Pd Biologi,PLH
9 Deni Danial. SPd Penjaskes
10 Lilis Rahmaniawati. Ir.M.Pd Ekonomi,Sosiologi,B.Sunda
11 Iip Syarif H, S.P Matematika
11 Yati Heryanti S. Sn Ak Seni
12 Kinkin Komala,S.Pd.M.Pd Biologi
13 Nanang Sukmana. SPd Ekonomi,Bhs. Indonesia
14 Yeni Setiawati. SPd Ekonomi,Bhs. Sunda
15 A. Dadan N. SPd Bhs. Inggris
16 Heny Dwi M . SPd Si Kimia
17 Syarifah. SPd Kimia
18 Ujang Herdiana. SPd Penjaskes
19 Ngatemi. SPd Geografi
20 Herawati. SPd PKn
21 Nanang Robiana. SPd Matematika
22 Elis Ninik. SPd Bhs. Inggris
23 Iin Sarqiah. SE.M.Pd Ekonomi,Bhs. Ind
24 Jejen Abdul H. SPd.M.M Fisika
25 Uky Rochyati. SPd BP/BK
26 Erna Maryati. SPd Ekonomi,TIK
27 Agus Saepudin. SAg Pend. Agama
28 Yeni Yuliani,S.Ag Pend. Agama
29 Sri Dian Purwanti,S.Pd Sejarah
30 Hilman Fauzan,S.Pd B. Inggris,Ket.B.Inggris
31 Iqbal Issaqhozi,S.Pd TIK,Komputer
32 Krisman Yuanti,S.Sos Sosiologi
33 Hanhan Handariyah,SE Agama Islam,Ekonomi
34 Heryanto,S.Pd Pkn,Sejarah
35 Aas Sumarna,S.Pd Geografi,Sejarah
36 Encang Zaenal,S.Pd Bahasa Inggris,Ket.B.Inggris
37 Rida Permana,S.Pd Penjaskes
38 Restu Widayat,S.Pd Bhs. Indonesia
39 Ivan Mahendrawanto,SH Pkn,Sejarah
40 Budi S. Nugroto,S.Pd Bhs. Indonesia
41 Krise Mulyadi,S.Pd Matematika
42 Sri Wahyuni,S.Pd Matematika
43 Dadan Hendaryana .S.Pd Kesenian
44 Rian Tobera.S.T Fisika
45 Ani Setiyowati. SPd TIK
46 Heni. SPd Bhs. Indonesia
47 Happy K. SPd Bhs. Inggris
48 Rita Rosita. SPd Matematika
49 Iis Rostiawati. S.P.d.I Pend. Agama
50 Endah W. SPd B.Sunda
51 Iis Setiasih. SPd Bhs. Inggris
52 Siti Julaeha,S.Pd PLH
54 Desty Muliani N,S.Pd B.Indonesia,B.Sunda
55 Endang Roni,S.Pd Matematika
56 Hastuti Yenni F,S.Pd Fisika
57 Andi Masmunandi,S.T BP/BK
58 Nurul Hidayati,S.T TIK
Senin, 15 Juni 2009
Pajak
PAJAK DALAM BLOCK GRANT
A. Pengertian dan Fungsi Pajak
Pajak dapat diartikan sebagai iuran wajib dari rakyat kepada kas negara sebagai wujud peran serta dalam pembangunan, yang pengenaannya berdasarkan undang-undang dan tidak mendapat imbalan secara langsung, serta dapat dipaksakan kepada mereka yang melanggarnya.
Pajak berfungsi sebagai alat untuk memasukkan uang ke kas negara yang kemudian, akan dialokasikan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran negara. Pajak yang dihimpun oleh negara pada gilirannya akan digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran rutin negara.
B. Pemungut/Pemotong PPn, Pajak Penghasilan Pasal 21, Pasal 22 dan Pasal 23
Kewajiban perpajakan yang terkait dengan penggunaan dana blockgrant adalah:
1. Pemotongan PPh Pasal 21 atas penghasilan honorarium atau gaji;
2. Pemungutan PPh Pasal 22 atas penghasilan penjualan barang;
3. Pemotongan PPh Pasal 23 atas penghasilan pemberi jasa;
4. Pemungutan PPN atas pembelian Barang Kena Pajak dan Perolehan Jasa Kena Pajak.
Pemungut pajak adalah pejabat yang ditunjuk oleh menteri/ketua lembaga sebagai bendaharawan/bendaharawan proyek dan bendaharawan pemerintah daerah.
Dalam hal dana blockgrant yang diberikan kepada SMA Negeri, maka penanggung jawab atau bendaharawan merupakan Pemungut/Pemotong Pajak.
Dalam hal dana blockgrant yang diberikan kepada SMA Swasta, maka penanggung jawab atau bendaharawan bukan merupakan Pemungut/Pemotong Pajak.
Oleh karena itu penanggung jawab atau bendaharawan pada sekolah swasta penerima dana blockgrant harus terdaftar sebagai wajib pajak dan memiliki NPWP atau untuk memudahkan administrasi dapat menggunakan NPWP sekolah atau yayasan sekolah.
C. Ketentuan Perpajakan Blockgrant
Penyaluran dana block grant melalui KPPN dari pemberi bantuan kepada penerima bantuan tidak dipungut pajak sesuai Surat Edaran Dirjen Anggaran No SE-181/A/2003 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pencairan dan Penyaluran Subsidi/Bantuan/Block Grant untuk Peningkatan Mutu SMU Provinsi. Sehingga jumlah dana block grant yang diterima sama besarnya dengan nilai yang tercantum pada Surat Perjanjian Penggunaan Dana (SP2D).
Kewajiban membayar pajak mulai berlaku pada saat pengelola block grant melakukan transaksi pembayaran dengan menggunakan dana block grant, seperti untuk pembelian barang dan jasa dan pembayaran berbagai macam honoraium/upah/gaji/lembur dan lain sebagainya dengan ketentuan sebagai berikut.
1. Pembelian Barang/jasa (PPn dan PPh Pasal 22)
Setiap traksaksi pembelian barang/jasa yang termasuk kategori Barang Kena Pajak (BKP) dan Jasa Kena Pajak (JKP) di atas Rp. 1.000.000 (satu juta rupiah) dan bukan merupakan jumlah yang dipecah-pecah dengan menggunakan dana APBN dan APBD (termasuk dana block grant) dikenakan :
a. Pajak Pertambahan Nilai (PPn) sebesar 10% (sepuluh persen) dari harga barang;
b. Pajak Pertambahan Hasil/PPh pasal 22 sebesar 1,5% (satu setengah persen) dari harga pembelian (harga sebelum dikenakan PPn).
Untuk pembelian barang kena pajak dan jasa kena pajak dengan jumlah transaksi tidak melebihi Rp. 1.000.000 (satu juta rupiah) dan bukan merupakan jumlah yang dipecah-pecah dengan menggunakan dana APBN dan APBD, maka atas pembelian tersebut tidak dilakukan pemungutan PPh pasal 22.
Perlakuan Pajak Pertambahan Nilai (PPn) dan Pajak Pertambahan Hasil (PPh) pasal 22 berbeda antara sekolah negeri dan sekolah bukan negeri. Bendaharawan pada sekolah negeri, untuk setiap transaksi pembelian barang/jasa yang termasuk kategori Barang Kena Pajak (BKP) dan Jasa Kena Pajak (JKP) di atas Rp. 1.000.000 (satu juta rupiah), dan bukan merupakan jumlah yang dipecah-pecah, dengan menggunakan dana APBN dan APBD (termasuk dana block grant) berkewajiban untuk memotong Pajak Pertambahan Nilai (PPn) sebesar 10% (sepuluh persen) dari harga barang dan Pajak Pertambahan Hasil/PPh pasal 22 sebesar 1,5% (satu setengah persen) dari harga pembelian (harga sebelum dikenakan PPn).
Bendaharawan pada sekolah swasta, berkewajiban untuk memotong PPN sebesar 10% (sepuluh persen) dari harga barang, namun tidak mempunyai kewajiban untuk memotong PPh pasal 22 sebesar 1,5% (satu setengah persen), walaupun nilai transaksi pembelian barang kena pajak dan jasa kena pajak melebihi Rp. 1.000.000 (satu juta rupiah).
Pembelian barang/jasa secara langsung (tidak kontrak) ke penyedia/penjual barang dan jasa berstatus badan usaha (PT/CV/UD/Koperasi dan sebagainya) dan memiliki NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak), biasanya pembeli sudah dibebankan/dipungut pajak PPn sebesar 10% dari harga oleh penjual.
Bukti pemungutan PPn tercantum pada faktur pajak baik dalam bentuk standar maupun sederhana, seperti : bon kontan/faktur penjualan/kwitansi/kas register dan bukti pembayaran lainnya yang sejenis.
Sedangkan kewajiban pajak PPh pasal 22 dipungut dan disetor oleh bendaharawan block grant pada sekolah negeri sebesar 1,5% dari harga barang sebelum Pajak Pertambahan Nilai, untuk sekolah bukan negeri bendaharawan tidak berkewajiban untuk memotong PPh pasal 22.
Contoh:
SMA ”X” membeli 50 sak semen @ Rp. 20.000,- dan pasir seharga Rp. 1.000.000 pada Toko “Y”, maka dasar perhitungan PPn dan PPh pasal 22 adalah sebagai berikut :
Harga 50 sak semen = 50 x Rp. 20.000,- Rp. 1.000.000,-
Harga pasir Rp. 1.000.000,-
Jumlah Pembelian Rp. 2.000.000,-
PPn 10 % = Rp. 10% x Rp. 2.000.000,- Rp. 200.000,-
Rp. 2.200.000,-
PPh pasal 22 = 1,5% x Rp. 2.000.000,- Rp. 30.000,-
Harga 50 sak semen termasuk PPn + PPh Ps 22 Rp 2.230.000,-
Pada contoh di atas dapat dijelaskan bahwa:
a. Bagi sekolah negeri:
PPn dipungut dan disetor oleh penyedia barang/jasa. Sedangkan pajak PPh pasal 22 dipungut dan disetor oleh bendaharawan block grant sekolah negeri. Jika penjual tidak memotong PPn, maka bendarawan block grant berkewajiban memotong dan menyetor PPn dan PPh sekaligus.
b. Bagi sekolah swasta:
PPn dipungut dan disetor oleh penyedia barang/jasa. Sedangkan pajak PPh pasal 22 dipungut dan disetor oleh bendaharawan block grant sekolah swasta yang telah mendaftar sebagai wajib pajak dan memiliki NPWP atau melalui bendahara yayasan. Jika penjual tidak memotong PPn, maka bendarawan block grant berkewajiban memotong dan menyetor PPn dan PPh sekaligus.
Tidak dibenarkan melakukan pemecahan transaksi pada hari dan penjual yang sama dengan maksud untuk menghindar dari kewajiban membayar pajak.
2. Pengadaan buku pelajaran pokok dan buku penunjang untuk perpustakaan
Pada pelaksanaan program blockgrant untuk pembelian buku pelajaran umum, kitab suci, dan buku pelajaran agama tidak terkena PPn akan tetapi tetap terkena Pajak Penghasilan (PPh) pasal 22 sebesar 1,5% dari nilai pembelian di atas Rp. 1.000.000,-
Dalam hal ini, nilai pembelian tersebut tidak melebihi Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah) dan bukan merupakan jumlah yang dipecah-pecah, maka atas pengadaan atau pembelian tersebut tidak dilakukan pemungutan PPh pasal 22.
Contoh:
SMA Negeri X membeli buku pelajaran 100 eksemplar @ Rp. 20.000,- pada Toko Y, PPh pasal 22 adalah sebagai berikut :
Harga buku 100 eks. = 100 x Rp. 20.000,- Rp. 2.000.000,-
PPh pasal 22 = 1,5% x Rp. 2.000.000,- Rp. 30.000,-
Harga 100 eks buku (termasuk PPh) Rp 2.030.000,-
3. Pembayaran upah/gaji/lembur block grant (PPh pasal 21)
Pada pelaksanaan program blockgrant dimungkinkan terjadi aktifitas pembayaran upah/gaji/lembur yang akan terkena Pajak Penghasilan (PPh) pasal 21.
Bendaharawan blockgrant yang membayar upah kepada perorangan/pekerja (pegawai tidak tetap dan bukan tenaga ahli) terkait dengan pelaksanaan program blockgrant berkewajiban memotong Pajak Penghasilan (PPh) pasal 21, dengan ketentuan sebagai berikut :
a. Apabila upah harian atau rata-rata upah harian tidak melebihi Rp. 110.000,- (seratus sepuluh ribu rupiah) dan jumlah seluruh upah yang diterima dalam jangka waktu satu bulan belum melebihi Rp. 1.100.000,- (satu juta seratus ribu rupiah), maka bendaharawan tidak berkewajiban memotong PPh pasal 21.
b. Apabila upah harian atau rata-rata upah harian tidak melebihi Rp. 110.000,- (seratus sepuluh ribu rupiah), namun jumlah seluruh upah yang diterima dalam jangka waktu satu bulan telah melebihi Rp. 1.100.000,- (satu juta seratus ribu rupiah), maka bendaharawan berkewajiban memotong PPh pasal 21 sebesar 5% (non PNS) atas jumlah penghasilan dalam jangka waktu satu bulan (jumlah bruto) setelah dikurangi bagian dari penghasilan tersebut yang tidak dikenai pajak (penghasilan tidak kena pajak atau PTKP).
c. Apabila upah harian atau rata-rata upah harian melebihi Rp. 110.000,- (seratus sepuluh ribu rupiah), dan jumlah seluruh upah yang diterima dalam jangka waktu 1 (satu) bulan belum melebihi Rp. 1.100.000,- (satu juta seratus ribu rupiah), maka bendaharawan berkewajiban memotong PPh pasal 21 sebesar 5% dari jumlah upah harian dalam jangka waktu satu bulan.
d. Apabila upah harian atau rata-rata upah harian melebihi Rp. 110.000,- (seratus sepuluh ribu rupiah) dan jumlah seluruh upah yang diterima dalam jangka waktu 1 (satu) bulan melebihi Rp. 1.100.000,- (satu juta seratus ribu rupiah), maka bendaharawan berkewajiban memotong PPh pasal 21 sebesar 5% atas jumlah penghasilan dalam jangka waktu satu bulan (jumlah bruto) setelah dikurangi bagian dari penghasilan tersebut yang tidak dikenai pajak (penghasilan tidak kena pajak atau PTKP).
Penghasilan tidak kena pajak (PTKP) adalah bagian dari penghasilan/pembayaran upah yang tidak dipotong pajak. Pemotongan pajak dilakukan dengan mengkalikan tarif pajak dengan penghasilan kena pajak. Untuk menentukan besarnya penghasilan kena pajak (PKP), jumlah penghasilan bruto (pembayaran yang diterima) dikurangkan dengan penghasilan kena pajak.
Besar penghasilan tidak kena pajak (PTKP) adalah sebagai berikut :
Tabel 1
Besar Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)
PTKP Setahun PTKP Sebulan
a Untuk diri pekerja/ pegawai Rp. 13.200.000,- Rp. 1.100.000,-
b Tambahan untuk pekerja/ pegawai kawin Rp. 1.200.000,- Rp. 100.000,-
c Tambahan untuk setiap anak/ anak angkat yang menjadi tanggungan. Maksimal 3 (tiga) orang Rp. 1.200.000,- Rp. 100,000,-
Besar penghasilan tidak kena pajak untuk masing-masing status :
Tabel 2
Besar Penghasilan Tidak Kena Pajak Untuk Masing-masing Status
Status PTKP Setahun PTKP Sebulan
Tidak kawin/0 anak Rp. 13.200.000,- Rp. 1.100.000,-
Kawin/0 anak Rp. 14.400.000,- Rp. 1.200.000,-
Kawin/1 anak Rp. 15.600.000,- Rp. 1.300.000,-
Kawin/2 anak Rp. 16.800.000,- Rp. 1.400.000,-
Kawin/3 anak Rp. 18.000.000,- Rp. 1.500.000,-
* maksimal tanggungan untuk perhitungan PTKP adalah kawin/3 anak
Contoh I :
Bapak Karim sudah menikah dan mempunyai seorang anak adalah seorang tenaga bangunan bekerja dalam pembangunan RKB SMAN 1 Sindanglaya. Upah per hari yang ia terima sebesar Rp. 40.000,-. Bapak Karim bekerja selama 1 bulan (25 hari kerja) dalam pembangunan RKB SMAN 1 Sindanglaya. Pemotongan PPh pasal 21 untuk upah bapak Karim, adalah:
Upah per hari bapak karim atau rata-rata upah perhari bapak karim adalah Rp. 40.000,-. Sementara jumlah upah bapak Karim selama 1 bulan bekerja selama 25 hari adalah Rp. 40.000,- x 25 = Rp. 1.000.000,-Mengacu pada penjelasan diatas (b1) maka bendaharawan tidak diwajibkan memotong pajak dalam pembayaran upah bapak Karim.
Contoh II :
Bapak Robbi sudah menikah dan tidak punya anak adalah seorang pekerja bangunan. Ia bekerja dalam pembangunan USB SMAN 1 Ciseeng. Upah per hari bapak Robbi adalah Rp. 50.000,-, bapak Robbi bekerja selama 1 bulan (25 hari kerja). Pemotongan PPh pasal 21 untuk upah bapak Robbi adalah :
Upah harian bapak Robbi Rp. 50.000,- tidak melebihi Rp. 110.000,-. Bapak Robbi bekerja selama 1 bulan (25 hari kerja), maka jumlah upah bapak Robbi selama 1 bulan adalah Rp.50.000 x 25 = Rp. 1.250.000,-. Mengacu pada penjelasan diatas (b2), maka bendaharawan berkewajiban memotong PPh pasal 21 sebesar 5% atas jumlah pembayaran dalam jangka waktu satu bulan (jumlah bruto) setelah dikurangi bagian dari penghasilan tersebut yang tidak dikenai pajak (penghasilan tidak kena pajak atau PTKP).
Penghasilan Bruto Bapak Robbi selama 1 bulan Rp. 1.250.000,-
Penghasilan tidak kena pajak (PTKP) Rp. 1.200.000,- _
*(lihat tabel 2, kawin 0 anak)
Penghasilan kena pajak (PKP) Rp. 50.000,-
Pemotongan pajak (5%xRp. 50.000,-) Rp. 2.500,-
Penghasilan bapak Robbi setelah dikurangi PPh pasal 21 adalah Rp. 1.250.000,- dikurangi Rp. 2.500,- = Rp. 1.247.500,-.
Contoh III :
Bapak Jhony sudah menikah dan mempunyai dua orang anak, adalah seorang pekerja bangunan. Ia bekerja membangun laboratorium IPA dalam program BIS Mutu SMAN 1 Sukra. Upah per hari bapak Jhony adalah Rp. 120.000,-. Bapak Jhony bekerja selama 9 hari dalam pembangunan laboratorium IPA tersebut. Pemotongan PPh pasal 21 untuk upah bapak Jhony adalah :
Upah harian bapak Jhony melebihi Rp. 110.000,-. Bapak Jhony bekerja selama 9 hari, maka jumlah upah bapak Jhony selama 1 bulan (9 hari kerja) adalah Rp. 120.000,- x 9 = Rp. 1.080.000,-. Mengacu pada penjelasan diatas (b3), maka bendaharawan berkewajiban memotong PPh pasal 21 sebesar 5% dari jumlah upah harian dalam jangka waktu satu bulan.
Penghasilan Bruto bapak Jhony Rp. 1.080.000,-
selama 1 bulan (bekerja 9 hari)
Pemotongan pajak (5% x Rp. 1.080.000,-) Rp. 54.000,- -
Penghasilan neto bapak Jhony Rp. 1.026.000,-
Contoh IV :
Bapak Basri sudah menikah dan mempunyai empat orang anak, adalah seorang pekerja bangunan. Ia bekerja membangun USB SMAN 6 Bintang Terang. Upah per hari bapak Basri adalah Rp. 120.000,-. Bapak Basri bekerja selama 1 bulan (25 hari kerja). Pemotongan PPh pasal 21 untuk upah bapak Basri adalah :
Upah harian bapak Basri melebihi Rp. 110.000,-. Bapak Basri bekerja selama 1 bulan (bekerja selama 25 hari), maka jumlah penghasilan yang diterima oleh bapak Basri selama 1 bulan adalah : Rp. 120.000,- x 25 = Rp. 3.000.000,-. Mengacu pada penjelasan diatas (b4), maka bendaharawan berkewajiban memotong PPh pasal 21 sebesar 5% atas jumlah pembayaran dalam jangka waktu satu bulan (jumlah bruto) setelah dikurangi bagian dari pembayaran tersebut yang tidak dikenai pajak (penghasilan tidak kena pajak atau PTKP). Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) untuk bapak Basri adalah kawin/3 anak (lihat tabel 2), walaupun bapak Basri mempunyai empat anak. Maksimal tanggungan untuk perhitungan PTKP adalah kawin/3 anak.
Penghasilan Bruto Bapak Basri selama 1 bulan Rp. 3.000.000,-
Penghasilan tidak kena pajak (PTKP) Rp. 1.500.000,- _
*(lihat tabel 2, kawin 3 anak)
Penghasilan kena pajak (PKP) Rp. 1.500.000,-
Pemotongan pajak (5%xRp. 1.500.000,-) Rp. 75.000,-
Penghasilan bapak Basri setelah dikurangi PPh pasal 21 adalah Rp. 3.000.000,- dikurangi Rp. 75.000,- = Rp. 2.925.000,-.
4. Pembayaran honorarium block grant (PPh pasal 21)
Pembayaran honorium kepada PNS dikenakan pajak 15% dari jumlah pembayaran yang diterima, hanya berlaku untuk PNS golongan II/b ke atas. Sedangkan pemotongan PPh pasal 21 kepada tenaga ahli/konsultan perorangan (akuntan, arsitek, pengacara, ahli bangunan, dokter dan sebagainya) dikenakan PPh sebesar 7,5% dari jumlah pembayaran (penghasilan bruto) yang diterima.
Untuk pemotongan PPh pasal 21 kepada penerima honorarium yang meliputi : pengajar, penceramah, moderator, pengelola proyek, peserta sidang/rapat, peserta perlombaan (non PNS) dikenakan tarif pajak sebesar 5% dari jumlah pembayaran (penghasilan bruto) yang diterima.
Contoh I:
Drs. Hartono (PNS) sebagai pengelola proyek pembangunan RKB/USB, menerima honorarium sebesar Rp. 250.000,- Pemotongan PPh pasal 21 oleh bendaharawan adalah 15%xRp.250.000,- = Rp. 37.500,-. Dengan demikian honor yang diterima Drs. Hartono Rp. 250.000,- - Rp. 37.500,- = Rp. 212.500,-
Contoh II:
Dalam rangka pelaksanaan program BOMM, sekolah A mengundang Dr. Rivki (non PNS) sebagai pembicara dalam kegiatan pelatihan internet siswa. Dr. Rivki (non PNS) menerima pembayaran honorarium sebesar Rp. 750.000,-. Pemotongan pajak PPh pasal 21 oleh bendaharawan adalah 5%xRp. 750.000,- = Rp. 37.500,-. Dengan demikian honor yang diterima Dr. Rivki Rp. 750.000,- - Rp. 37.500,- = Rp. 712.500,-
Contoh III:
Ir. Darmawan seorang arsitek penerimaan pembayaran untuk pembuatan gambar bangunan USB sebesar Rp. 5.000.000,-. Yang dipotong/dipungut dan disetor oleh bendarawan block grant ke kas negara adalah 7,5% x Rp. 5.000.000,- = Rp. 375.000,-. Dengan demikian honor yang diterima Ir. Darmawan Rp. 5.000.000,- - Rp. 375.000,- = Rp.4.625.000,-
5. Pengadaan Jasa Akomodasi/Konsumsi dan sewa menyewa
Pengadaan jasa akomodasi dan konsumsi oleh hotel/restoran/ rumah makan non badan usaha hanya dikenakan pajak PPh pasal 22 sebesar 1,5% dari jumlah pembayaran. Jika penyedia jasa berbentuk badan usaha dikenakan tarif pajak PPn 10% dan PPh pasal 22 sebesar 1,5%. Sedangkan kegiatan sewa-menyewa (seperti komputer, ruang sidang dan sebagainya) dikenakan pajak sebesar 6 % dari nilai sewa. Pemungutan dan penyetoran pajak dilakukan oleh bendaharawan blockgrant atau penyedia jasa.
Contoh III:
SMA Negeri Y menyewa ruang sidang untuk pelatihan penyusunan silabus selama 10 hari, biaya sewa per hari Rp. 250.000,-. Biaya pajak yang harus dibayar adalah:
Untuk penyewaan kepada non badan usaha pengenaan pajak yang dipungut adalah:
- Biaya sewa ruangan 10 hari x Rp. 250.000,- = Rp. 2.500.000,-
- PPh pasal 22 yang dipungut 1,5% x 2.500.000,-= Rp 37.500,-
Untuk penyewaan kepada non badan usaha pengenaan pajak yang dipungut adalah:
- Biaya sewa ruangan 10 hari x Rp. 250.000,- = Rp 2.500.000,-
- PPh pasal 22 yang dipungut 1,5% x 2.500.000,-= Rp 37.500,-
- PPn yang dipungut 10% x 2.500.000,- = Rp 250.000,-
6. PPh Pasal 23 atas penghasilan pemberi jasa
Kewajiban perpajakan yang terkait dengan penggunaan dana blockgrant, baik pada Sekolah Negeri dan Sekolah Swasta untuk membayar imbalan jasa perawatan atau pemeliharaan sekolah yang dibayarkan kepada Badan Usaha bukan orang pribadi yang melaksanakan pemeliharaan atau perawatan sekolah.
Tarif pemotongan PPh Pasal 23 untuk pemberi jasa adalah sebesar 15% (adalah merupakan tarif dasar dari PPh 23) x 40% (pengenaan pajak yang berkaitan dengan butir-butir a s.d. d di bawah) atau sebesar 6% dari jumlah imbalan bruto tidak termasuk PPN.
Yang termasuk dalam jasa pemeliharaan atau perawatan sekolah adalah:
a. Jasa instalasi/pemasangan mesin dan jasa instalasi/pemasangan peralatan;
b. Jasa instalasi/pemasangan listrik/telepon/air/gas/TV kabel;
c. Jasa perawatan/pemeliharaan/perbaikan bangunan.
d. Jasa sehubungan dengan software komputer, termasuk perawatan/pemeliharaan dan perbaikan.
Contoh:
Kab/Kota “x” membangun USB SMA Negeri Sukarame. Biaya pemasangan instalasi listrik sebesar Rp. 5.000.000,-. Maka pajak yang harus dipungut bendahara sesuai dengan ketentuan PPh pasal 23 adalah:
- Biaya pemasangan instalasi listrik Rp. 5.000.000,-
- PPh pasal 23 yang dipungut
6 % x Rp. 5.000.000,- Rp 300.000,-
D. Penyetoran Pajak
Bendaharawan block grant kemudian menghitung, memotong dan menyetor pajak untuk setiap bulan dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) ke kantor pos dan giro atau bank persepsi (bank yang menerima penyetoran pajak).
Penyetoran PPn dan PPh (yang dilakukan oleh bendaharawan block grant) paling lambat tanggal 15. Jika transaksi dilakukan di atas tanggal 15, maka penyetoran dilakukan paling lambat pada tanggal 15 bulan berikutnya. Penyetoran dapat dilakukan pada bank persepsi (bank yang menerima penyetoran pajak) dan kantor pos terdekat.
Dalam melakukan pelaporan pajak, bendaharawan mengisi Surat Pemberitahuan (SPT) pajak. Surat Pemberitahuan bisa didapatkan di kantor pelayanan pajak setempat.
Bendaharawan block grant wajib melaporkan penyetoran pajak tersebut ke kantor pelayanan pajak, paling lambat tanggal 20. Apabila penyetoran di atas tanggal 20, maka laporan paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya.
Penyetoran dan pelaporan dalam bentuk rekapitulasi dari semua transaksi yang sudah berjalan.
Ketentuan pajak yang disusun pada pedoman ini, berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang Pajak Pertambahan hasil (PPh) dan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 tentang Pajak Pertambahan nilai (PPn).
E. Bea Materai
Bea materai merupakan Pembaharuan Perpajakan Nasional yang dilaksanakan dalam rangka menegakkan kemandirian dalam membiayai pengeluaran negara dan pembangunan nasional dengan mewujudkan kesertaan dan kegotong-royongan masyarakat dalam membiayai pembangunan nasional.
Tarif bea materai adalah sebesar Rp. 3.000,00 dan Rp. 6.000,00.
Tarif materai Rp. 3.000,00 dikenakan atas dokumen:
1. surat yang memuat jumlah uang lebih dari Rp. 250.000,00 sampai dengan Rp. 1.000.000,00 yaitu:
a. yang menyebutkan penerimaan uang
b. yang menyatakan pembukaan uang atau penyimpanan uang di dalam rekening bank
c. yang berisi pemberitahuan saldo rekening di bank
d. yang berisi pengakuan bahwa hutang uang sebagian atau seluruhnya telah dilunasi
2. Surat-surat berharga seperti wesel, promes dan bernominal lebih dari Rp. 250.000,00 tetapi tidak lebih dari Rp. 1.000.000,00
3. Efek dengan nama dan dalam bentuk apapun yang mempunyai harga nominal lebih dari Rp. 250.000,00 tetapi tidak lebih dari Rp. 1.000.000,00
a. Sekumpulan efek dengan nama dan dalam bentuk apapun yang tercantum dalam surat kolektif yang mempunyai harga nominal sampai dengan Rp. 1.000.000,00
b. Cek dan Bilyet Giro dengan nominal berapapun
Tarif materai Rp. 6.000,00 dikenakan atas dokumen:
1. Surat perjanjian dan surat-surat lainnya yang digunakan sebagai alat pembuktian mengenai perbuatan, pernyataan atau keadaan yang bersifat perdata
2. Akta Notaris termasuk salinannya
3. Akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah
4. Dokumen yang akan digunakan sebagai alat pembuktian dimuka pengadilan
5. Dokumen atau surat yang memuat jumlah uang lebih dari Rp. 1.000.000,00
6. Surat-surat berharga seperti wesel dan promes yang bernominal lebih dari Rp. 1.000.000,00
7. Efek dengan nama dan dalam bentuk apapun yang mempunyai harga nominal lebih dari Rp. 1.000.000,00
F. Sanksi
1. Sanksi Pajak
Sanksi Perpajakan merupakan alat pencegah (preventive) agar wajib pajak tidak melanggar undang-undang atau norma perpajakan. Dalam Undang-undang Perpajakan dikenal 2 (dua) macam sanksi yaitu :
a. Sanksi Administrasi
Sanksi adminitrasi merupakan sanksi yang dikenakan apabila terjadi pelanggaran yang menyangkut kewajiban material maupun formal. Sanksi administrasi terdiri atas tiga (tiga) yaitu berupa :
1) Denda
Wajib pajak yang dikenakan sanksi administrasi berupa denda apabila
• SPT tidak disampaikan atau terlambatdisampaikan untuk :
• Kekurangan pembayaran jumlah pajak yang sebenarnya terutang sebesar 2 (dua) kali jumlah pajak yang kurang bayar.
• Tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong tau dipungut sehingga menimbulkan kerugian pada negara didenda 4 (empat) kali jumlah pajak yang terutang yang tidak atau kurang dibayar.
• Mengajukan permohonan restitusi atau melakukan kompensasi pajak dengan menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak Nomor Pajak Wajib Pajak atau Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak atau menyampaikan Surat Pemberiatahuan dan atau keterangan isinya tidak benar dan tidak lengkap didenda paling tinggi 4 (empat) kali jumlah restitusi yang dimohon dan atau kompensasi yang dilakukan oleh wajib pajak.
• Dengan sengaja memberi keterangan atau bukti, atau membei keterangan atau bukti yang tidak benar didenda paling banyak Rp. 10.000.000 (sepuluh juta rupiah).
• Setiap orang dengan sengaja menghalangi atau mempersulit penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan didenda paling banyak Rp. 10.000.000 (sepuluh juta rupiah).
• Terhadap pengusaha atau Pengusaha Kena Pajak yang tidak melaporkan kegiatan usaha, dan tidak membuat faktur pajak atau membuat faktur pajak tetapi tidak tepat atau tidak mengisi dengan sebenarnya dikenakan denda sebesar 2% (dua persen) dari daasar pengenaan pajak.
Contoh 1
Pada bulan Juni 2004 PT. Trimitra terhutang pajak sebesar Rp. 500.000,00 sudah dibayar tepat waktu, sedangkan SPT-nya baru disampaikan pada tanggal 20 Oktober 2004
Diminta :
Hitunglah sanksi yang harus dibayar PT. Trimitra
Penyelesaian:
Pajak kurang bayar Rp. 0,00
Sanksi denda Rp. 50.000,00
Pajak yang harus dibayar Rp. 50.000,00
Contoh 2
Pada tahun 2003 PT. Trimitra terhutang PPh Rp. 15.000.000,00 dan dibayar tepat waktu Rp. 10.000.000,00. SPT baru disampaikan pada tanggal 50 Juni 2004
Diminta:
Hitunglah pajak yang harus dibayar oleh PT. Trimitra
Penyelesaian :
Pajak yang terhutang Rp. 15.000.000,00
Bayar tepat waktu Rp. 10.000.000,00
Pajak kurang bayar Rp. 5.000.000,00
Sanksi denda (SPT) Rp. 100.000,00
Pajak yang masih harus dibayar Rp. 5.100.000,00
Pejabat yang dikenakan sanksi administrasi berupa denda apabila :
1) Karena kealpaan tidak memenuhi kewajiban merahasiakan segala sesuatu tentang dari wajib pajak didenda paling banyak Rp. 4.000.000 (empat juta rupiah).
2) Karena kesengajaan tidak memenuhi kewajiban merahasiakan segala sesuatu tentang diri wajib pajak didenda paling banyak Rp. 10.000.000 (sepuluh juta rupiah)
2). Bunga
Wajib pajak dikenakan sanksi administrasi berupa bunga apabila :
• Wajib pajak membetulkan sendiri SPT yang mengakibatkan utang pajak menjadi lebih besar dikenakan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan atas jumlah pajak yang kurang dibayar, dihitung sejak saat penyampaian SPT sampai dengan pembayaran karena pembetulan SPT tersebut.
• Pembayaran atau penyetoran pajak dilakukan setelah jatuh tempo pembayaran atau penyetoran pajak dikenakan bunga sebesar 2% (dua persen) sebelan yang dihitung dari jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
• Jumlah kekurangan pajak yang terhutang dalam SPT dikenakan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan, dihitung sejak saat terutangnya pajak sampai dengan diterbitkannya SPT.
• Jangka waktu 10 (sepuluh) tahun lebih telah lewat, SKPKBT tetap dapat diterbitkan ditambah bunga sebesar 48% (empat puluh delapan persen) dari jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar dalam hal wajib pajak dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan.
• Pajak yang terutang menurut SKPKB, SKPKBT, dan tambahan jumlah pajak yang harus dibayar berdasarkan surat keputusan pembetulan, surat keputusan keberatan, atau putusan banding pada saat jatuh tempo pembayaran tidak atau kurang dibayar, maka atas jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar dikenakan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan untuk seluruh masa, yang dihitung dari tanggal jatuh tempo sampai dengan tanggal pembayaran atau tanggal diterbitkan STP, dan bagian dari bulan dihitung 1 (satu) bulan.
• Wajib pajak mengangsur atau menunda pembayaran pajak dikenakan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
• Menunda penyampaian SPT dan ternyata perhitungan sementara pajak yang terutang kurang dari jumlah pajak sebenarnya, maka atas kekurangan tersebut dikenakan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan yang dihitung dari saat berakhirnya kewajiban penyampaian SPT sampai dengan tanggal dibayarnya kekurangan pembayaran tersebut.
Direktur Jenderal Pajak (KPP) akan dikenakan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan dalam hal :
• SKPLB terlambat diterbitkan
• Pengajuan keberatan dan banding diterima sebagian atau seluruhnya
• Terlambat pengembalian kelebihan pembayaran pajak.
Contoh 3
Jika pada contoh 2 diatas pajak kurang bayar dibayar bersamaan dengan penyampaian SPT
Diminta :
Hitunglah pajak yang dibayar oleh PT. Trimitra
Penyelesaian :
Pajak yang terhutang Rp. 15.000.000,00
Bayar tepat waktu Rp. 10.000.000,00
Pajak kurang bayar Rp. 5.000.000,00
Sanksi bunga : 2% x 3 x Rp. 5.000.000,00 Rp. 300.000,00
Sanksi denda Rp. 100.000,00
Pajak yang masih harus dibayar Rp. 5.400.000,00
3). Kenaikan
Wajib pajak dikenakan sanksi administrasi berupa kenaikan apabila :
• Pajak yang kurang dibayar atau timbul sebagai akibat dari pengungkapan ketidakbenaran pengisian SPT dikenakan kenaikan sebesar 50% (lima puluh persen) dari pajak yang kurng dibayar, dan harus dilunasi sendiri oleh wajib pajak sebelum laporan tersendiri disampaikan (PPh Pasal 25)
• Kekurangan pajak yang terutang dalam SKPKBT, ditambah dengan kenaikan sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah kekurangan tersebut (PPh Pasal 21, 22, 23 dan 26)
• 100% (seratus persen) dari PPN dan PPnBM yang tidak atau kurang dibayar
Sanksi berupa kenaikan apabila SPT tidak disampaikan dan setelah ditegur oleh fiskus juga tidak disampaikan oleh wajib pajak dalam batas waktu yang ditentukan dalam surat teguran.
Contoh 4
Pada bulan Juli 2004 PT. Trimitra terhutang PPN sebesar Rp. 100.000.000,00. KPP menerbitkan SKPKB pada tanggal 10 Oktober 2004
Diminta :
Hitunglah pajak yang dibayar oleh PT. Trimitra
Penyelesaian :
Pajak yang terhutang Rp. 100.000.000,00
Pajak yang dibayar Rp. 0,00
Pajak kurang bayar Rp. 100.000.000,00
Sanksi kenaikan 100% x Rp. 100.000.000,00 Rp. 100.000.000,00
Pajak yang masih harus dibayar Rp. 200.000.000,00
Contoh 5
Jika pada contoh 4 diats pajak yang terhutang baru dibayar pada tanggal 9 Oktober 2004
Diminta :
Hitunglah pajak yang dibayar oleh PT. Trimitra
Penyelesaian :
Pajak yang terhutang Rp. 100.000.000,00
Sanksi : 2% x 3 Rp. 10.000.000,00 Rp. 6.000.000,00
Pajak yang harus dibayar Rp. 106.000.000,00
4). Sanksi Pidana
Sanksi pidana yaitu sanksi yang dikenakan apabila terjadi tindak pidana perpajakan yang dilakukan oleh wajib pajak, atau pihak lain yang ditunjuk sebagai wakil atau kuasa wajib pajak. Sanksi pidana dikenakan juga terhadap instansi pajak yang membocorkan rahasia wajib pajak yang diberitahukan kepadanya.
Sanksi pidana terdiri atas :
a) Pidana Kurungan
Setiap orang yang karena kealpaannya :
• Tidak menyampaikan SPT, atau
• Menyampaikan SPT, tetapi isinya tidak benar dan tidak lengkap atau melampirkan keterangan yang isinya tidk benar sehingga dapat merugikan pada pendapatan negara dipidana dengan pidana perpajakan 2005-2006 kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan atau denda paling tinggi 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar.
b). Pidana Penjara
Barang siapa dengan sengaja :
• Tidak mendaftarkan diri atau menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) atau Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak (PPKP) sebagai mana dimaksud dalam pasal 2 atau
• Tidak menyampaikan SPT, atau
• Menyampaikan SPT dan atau keterangan yang isinya tidak benar, atau tidak lengkap, atau
• Menolak untuk dilakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 29 atau
• Memperlihatkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen lain yang palsu atau dipalsukan seolah-olah benar, atau
• Tidak menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan, tidak memperlihatkan atau tidak meminjamkan buku, catatan atau dokumen lainnya, atau
• Tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut, sehingga menimbulkan kerugian pada pendapatan negara, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling tinggi 4 (empat) kali jumlah pajak yang terutang yang tidak atau kurang dibayar
• Pidana sebagaiman dimaksud point 1 sampai dengan 7 diatas dilipatkan 2 (dua) lewat 1 tahun, terhitung sejak selesainya menjalani pidana penjara yang dijatuhkan
- Pejabat instansi pajak yang dikenakan penjara kurungan apabila karena kealpaan tidak memenuhi kewajiban merahasiakan segala sesuatu yang diberitahukan oleh wajib pajak karena jabatannya, dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp. 4.000.000,00 (empat juta rupiah)
- Pejabat instansi pajak yang dikenakan sanksi pidana penjara apabila karena kesengajaan tidak memenuhi kewajibannya atau seseorang yang menyebabkan tidak dipenuhinya kewajiban tenaga ahli yang ditunjuk Dirjen Pajak (Pasal 34) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp. 10.000.000 (sepuluh juta rupiah)
- Setiap orang yang menurut pasal 35 UU Perpajakan Tahun 2000 tentang KUT wajib memberikan keterangan atau bukti yang diminta tetapi dengan sengaja tidak memberi keterangan atau bukti, atau memberikan keterangan atau bukti yang tidak benar, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp. 10.000.000 (sepuluh juta rupiah)
- Penunututan terhadap tindak pidana yang dilakukan pejabat, dilakukan hanya atas pengaduan ari wajib pajak yang kerahasiannya dilarang.
- Tindak pidana perpajakan tidak dapat dituntut setelah lampau sepuluh tahun sejak berakhirnya masa pajak.
Contoh
Pada tahun pajak 2003 PT. Trimitra terhutang pajak Rp. 10.000.000,00. Dari hasil penelitian KPP menyebutkan bahwa PT. Trimitra dengan sengaja tidak membayar pajak yang terhutang.
Diminta :
Hitunglah pajak yang harus dibayar oleh PT. Trimitra
Penyelesaian :
Pajak yang terhutang Rp. 10.000.000,00
Sanksi denda 4 x Rp. 10.000.000,00 Rp. 40.000.000,00
Pajak yang harus dibayar Rp. 50.000.000,00
Dari urai di atas dapat disimpulkan bahwa sanksi pidana terdiri atas sanksi pidana khusus (murni) yaitu pidana penjara dan kurungan dan sanksi pidana tambahan yaitu pidana berupa denda. Dengan demikian sanksi dalam perpajakan merupakan perpaduan antara sanksi administrasi dan sanksi pidana, artinya dapat dikenakan sanksi administrasi saja atau sanksi pidana saja atau kedua-duanya.
2. Sanksi Materai
Sanksi yang terutang Bea Materai adalah :
a. Sanksi Administrasi
Apabila dokumen tidak atau kurang dilunasi Bea Materai sebagaimana mestinya, dikenakan denda administrasi sebesar 200% dari Bea Materai yang tidak atau kurang dibayar, dengan cara pemeteraian kemudian.
Cara pelunasan dengan cara pemeteraian kemudian yaitu :
Dokumen yang dibuat di luar negeri pada saat digunakan di Indonesia harus telah dilunasi Bea Materai. Pemeteraian kemudian atas dokumen tersebut dilakukan oleh pejabat pos menurut tata cara yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan. Hubungan antara pemeteraian kemudian dengan denda administrasi adalah pemeteraian kemudian tanpa denda dan dengan denda 200 %.
Pemeteraian kemudian tanpa denda meliputi :
1) Dokumen luar negeri yang belum digunakan
2) Surat-surat biasa dan surat kerumah tanggaan, sebagai alat bukti di pengadilan
3) Dokumen yang semula tidak dikenakan Bea Materai berdasarkan tujuannya atau dipergunakan oleh orang lain (sebagai alat bukti di pengadilan).
Pemeteraian kemudian dengan denda 200% meliputi :
1) Semua dokumen yang semestinya dikenakan Bea Materai tetapi tidak atau kurang dibayar Bea Materainya.
2) Dokumen luar negeri sudah dipakai sebagai dokumen di Indonesia baru dimateraikan.
Contoh :
1) Dokumen yang seharusnya dikenakan Bea Materai sebesar Rp. 3000 tetapi tidak diberi materai
Bea Materai yang tidak dibayar Rp. 3.000,00
Denda administrasi (200%) Rp. 6.000,00
Jumlah pemeteraian kemudian Rp. 9.000,00
2) Dokumen yang seharusnya dikenakan Bea Materai sebesar Rp. 6.000 tetapi tidak diberi materai
Bea Materai yang tidak dibayar Rp. 3.000,00
Denda administrasi (200%) Rp. 12.000,00
Jumlah pemeteraian kemudian Rp. 18.000,00
Sanksi administrasi juga dikenakan terhadap :
1) Pejabat pemerintah, hakim, panitera, jurusita, notaris dan pejabat umum lainnya, masing-masing dalam tugas dan jabatannya. Mereka tidak dibenarkan:
• Menerima, mempetimbangkan atau menyimpan dokumen yang Bea Materainya tidak atau kurang dibayar.
• Meletakan dokumen yang Bea Materainya tidak atau kurang dibayar sesuai dengan tarifnya pada dokumen lain yang berkaitan.
• Membuat salinan, tembusan, rangkapan atau petikan dari dokumen yang Bea Materainya tidak atau kurang dibayar.
• Memberikan kekurangan atau catatan pada dokumen yang tidak atau kurang dibayar sesuai dengan tarif Bea Materai
2) Pejabat pemerintah/pegawai negeri yang karena jabatannya melanggar ketentuan Bea Materai dikenakan sanksi administrasi antara lain :
• Dengan teguran, peringatan
• Tunda kenaikan gaji/pangkat
• Diberhentikan
b. Sanksi Pidana
Sanksi pidana dikenakan terhadap :
1) Pemalsuan Meterai Tempel dan Kertas Materai dan tanda tangan untuk :
• Mensahkan materai, menyimpan, menjual, menawarkan, menyerahkan, menggunakan atau menyediakan untuk dijual.
• Menyimpan semua bahan atau perkakas yang diketahui untuk meniru dan memalsukan benda materai.
Sanksi terhadap pemalsuan tersebut dapat berupa penjara atau kurungan berdasarkan keputusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum.
2) Dengan sengaja menggunakan cara lain untuk pelunasan Bea Materai, tanpa seijin Menteri Keuangan, dipidana dengan penjara selama-lamanya 7 (tujuh) tahun.
c. Penangung Jawab Sanksi
1) Untuk sanksi administrasi adalah pemegang dokumen
2) Untuk sanksi pidana adalah sesuai Keputusan Pengadilan
A. Pengertian dan Fungsi Pajak
Pajak dapat diartikan sebagai iuran wajib dari rakyat kepada kas negara sebagai wujud peran serta dalam pembangunan, yang pengenaannya berdasarkan undang-undang dan tidak mendapat imbalan secara langsung, serta dapat dipaksakan kepada mereka yang melanggarnya.
Pajak berfungsi sebagai alat untuk memasukkan uang ke kas negara yang kemudian, akan dialokasikan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran negara. Pajak yang dihimpun oleh negara pada gilirannya akan digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran rutin negara.
B. Pemungut/Pemotong PPn, Pajak Penghasilan Pasal 21, Pasal 22 dan Pasal 23
Kewajiban perpajakan yang terkait dengan penggunaan dana blockgrant adalah:
1. Pemotongan PPh Pasal 21 atas penghasilan honorarium atau gaji;
2. Pemungutan PPh Pasal 22 atas penghasilan penjualan barang;
3. Pemotongan PPh Pasal 23 atas penghasilan pemberi jasa;
4. Pemungutan PPN atas pembelian Barang Kena Pajak dan Perolehan Jasa Kena Pajak.
Pemungut pajak adalah pejabat yang ditunjuk oleh menteri/ketua lembaga sebagai bendaharawan/bendaharawan proyek dan bendaharawan pemerintah daerah.
Dalam hal dana blockgrant yang diberikan kepada SMA Negeri, maka penanggung jawab atau bendaharawan merupakan Pemungut/Pemotong Pajak.
Dalam hal dana blockgrant yang diberikan kepada SMA Swasta, maka penanggung jawab atau bendaharawan bukan merupakan Pemungut/Pemotong Pajak.
Oleh karena itu penanggung jawab atau bendaharawan pada sekolah swasta penerima dana blockgrant harus terdaftar sebagai wajib pajak dan memiliki NPWP atau untuk memudahkan administrasi dapat menggunakan NPWP sekolah atau yayasan sekolah.
C. Ketentuan Perpajakan Blockgrant
Penyaluran dana block grant melalui KPPN dari pemberi bantuan kepada penerima bantuan tidak dipungut pajak sesuai Surat Edaran Dirjen Anggaran No SE-181/A/2003 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pencairan dan Penyaluran Subsidi/Bantuan/Block Grant untuk Peningkatan Mutu SMU Provinsi. Sehingga jumlah dana block grant yang diterima sama besarnya dengan nilai yang tercantum pada Surat Perjanjian Penggunaan Dana (SP2D).
Kewajiban membayar pajak mulai berlaku pada saat pengelola block grant melakukan transaksi pembayaran dengan menggunakan dana block grant, seperti untuk pembelian barang dan jasa dan pembayaran berbagai macam honoraium/upah/gaji/lembur dan lain sebagainya dengan ketentuan sebagai berikut.
1. Pembelian Barang/jasa (PPn dan PPh Pasal 22)
Setiap traksaksi pembelian barang/jasa yang termasuk kategori Barang Kena Pajak (BKP) dan Jasa Kena Pajak (JKP) di atas Rp. 1.000.000 (satu juta rupiah) dan bukan merupakan jumlah yang dipecah-pecah dengan menggunakan dana APBN dan APBD (termasuk dana block grant) dikenakan :
a. Pajak Pertambahan Nilai (PPn) sebesar 10% (sepuluh persen) dari harga barang;
b. Pajak Pertambahan Hasil/PPh pasal 22 sebesar 1,5% (satu setengah persen) dari harga pembelian (harga sebelum dikenakan PPn).
Untuk pembelian barang kena pajak dan jasa kena pajak dengan jumlah transaksi tidak melebihi Rp. 1.000.000 (satu juta rupiah) dan bukan merupakan jumlah yang dipecah-pecah dengan menggunakan dana APBN dan APBD, maka atas pembelian tersebut tidak dilakukan pemungutan PPh pasal 22.
Perlakuan Pajak Pertambahan Nilai (PPn) dan Pajak Pertambahan Hasil (PPh) pasal 22 berbeda antara sekolah negeri dan sekolah bukan negeri. Bendaharawan pada sekolah negeri, untuk setiap transaksi pembelian barang/jasa yang termasuk kategori Barang Kena Pajak (BKP) dan Jasa Kena Pajak (JKP) di atas Rp. 1.000.000 (satu juta rupiah), dan bukan merupakan jumlah yang dipecah-pecah, dengan menggunakan dana APBN dan APBD (termasuk dana block grant) berkewajiban untuk memotong Pajak Pertambahan Nilai (PPn) sebesar 10% (sepuluh persen) dari harga barang dan Pajak Pertambahan Hasil/PPh pasal 22 sebesar 1,5% (satu setengah persen) dari harga pembelian (harga sebelum dikenakan PPn).
Bendaharawan pada sekolah swasta, berkewajiban untuk memotong PPN sebesar 10% (sepuluh persen) dari harga barang, namun tidak mempunyai kewajiban untuk memotong PPh pasal 22 sebesar 1,5% (satu setengah persen), walaupun nilai transaksi pembelian barang kena pajak dan jasa kena pajak melebihi Rp. 1.000.000 (satu juta rupiah).
Pembelian barang/jasa secara langsung (tidak kontrak) ke penyedia/penjual barang dan jasa berstatus badan usaha (PT/CV/UD/Koperasi dan sebagainya) dan memiliki NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak), biasanya pembeli sudah dibebankan/dipungut pajak PPn sebesar 10% dari harga oleh penjual.
Bukti pemungutan PPn tercantum pada faktur pajak baik dalam bentuk standar maupun sederhana, seperti : bon kontan/faktur penjualan/kwitansi/kas register dan bukti pembayaran lainnya yang sejenis.
Sedangkan kewajiban pajak PPh pasal 22 dipungut dan disetor oleh bendaharawan block grant pada sekolah negeri sebesar 1,5% dari harga barang sebelum Pajak Pertambahan Nilai, untuk sekolah bukan negeri bendaharawan tidak berkewajiban untuk memotong PPh pasal 22.
Contoh:
SMA ”X” membeli 50 sak semen @ Rp. 20.000,- dan pasir seharga Rp. 1.000.000 pada Toko “Y”, maka dasar perhitungan PPn dan PPh pasal 22 adalah sebagai berikut :
Harga 50 sak semen = 50 x Rp. 20.000,- Rp. 1.000.000,-
Harga pasir Rp. 1.000.000,-
Jumlah Pembelian Rp. 2.000.000,-
PPn 10 % = Rp. 10% x Rp. 2.000.000,- Rp. 200.000,-
Rp. 2.200.000,-
PPh pasal 22 = 1,5% x Rp. 2.000.000,- Rp. 30.000,-
Harga 50 sak semen termasuk PPn + PPh Ps 22 Rp 2.230.000,-
Pada contoh di atas dapat dijelaskan bahwa:
a. Bagi sekolah negeri:
PPn dipungut dan disetor oleh penyedia barang/jasa. Sedangkan pajak PPh pasal 22 dipungut dan disetor oleh bendaharawan block grant sekolah negeri. Jika penjual tidak memotong PPn, maka bendarawan block grant berkewajiban memotong dan menyetor PPn dan PPh sekaligus.
b. Bagi sekolah swasta:
PPn dipungut dan disetor oleh penyedia barang/jasa. Sedangkan pajak PPh pasal 22 dipungut dan disetor oleh bendaharawan block grant sekolah swasta yang telah mendaftar sebagai wajib pajak dan memiliki NPWP atau melalui bendahara yayasan. Jika penjual tidak memotong PPn, maka bendarawan block grant berkewajiban memotong dan menyetor PPn dan PPh sekaligus.
Tidak dibenarkan melakukan pemecahan transaksi pada hari dan penjual yang sama dengan maksud untuk menghindar dari kewajiban membayar pajak.
2. Pengadaan buku pelajaran pokok dan buku penunjang untuk perpustakaan
Pada pelaksanaan program blockgrant untuk pembelian buku pelajaran umum, kitab suci, dan buku pelajaran agama tidak terkena PPn akan tetapi tetap terkena Pajak Penghasilan (PPh) pasal 22 sebesar 1,5% dari nilai pembelian di atas Rp. 1.000.000,-
Dalam hal ini, nilai pembelian tersebut tidak melebihi Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah) dan bukan merupakan jumlah yang dipecah-pecah, maka atas pengadaan atau pembelian tersebut tidak dilakukan pemungutan PPh pasal 22.
Contoh:
SMA Negeri X membeli buku pelajaran 100 eksemplar @ Rp. 20.000,- pada Toko Y, PPh pasal 22 adalah sebagai berikut :
Harga buku 100 eks. = 100 x Rp. 20.000,- Rp. 2.000.000,-
PPh pasal 22 = 1,5% x Rp. 2.000.000,- Rp. 30.000,-
Harga 100 eks buku (termasuk PPh) Rp 2.030.000,-
3. Pembayaran upah/gaji/lembur block grant (PPh pasal 21)
Pada pelaksanaan program blockgrant dimungkinkan terjadi aktifitas pembayaran upah/gaji/lembur yang akan terkena Pajak Penghasilan (PPh) pasal 21.
Bendaharawan blockgrant yang membayar upah kepada perorangan/pekerja (pegawai tidak tetap dan bukan tenaga ahli) terkait dengan pelaksanaan program blockgrant berkewajiban memotong Pajak Penghasilan (PPh) pasal 21, dengan ketentuan sebagai berikut :
a. Apabila upah harian atau rata-rata upah harian tidak melebihi Rp. 110.000,- (seratus sepuluh ribu rupiah) dan jumlah seluruh upah yang diterima dalam jangka waktu satu bulan belum melebihi Rp. 1.100.000,- (satu juta seratus ribu rupiah), maka bendaharawan tidak berkewajiban memotong PPh pasal 21.
b. Apabila upah harian atau rata-rata upah harian tidak melebihi Rp. 110.000,- (seratus sepuluh ribu rupiah), namun jumlah seluruh upah yang diterima dalam jangka waktu satu bulan telah melebihi Rp. 1.100.000,- (satu juta seratus ribu rupiah), maka bendaharawan berkewajiban memotong PPh pasal 21 sebesar 5% (non PNS) atas jumlah penghasilan dalam jangka waktu satu bulan (jumlah bruto) setelah dikurangi bagian dari penghasilan tersebut yang tidak dikenai pajak (penghasilan tidak kena pajak atau PTKP).
c. Apabila upah harian atau rata-rata upah harian melebihi Rp. 110.000,- (seratus sepuluh ribu rupiah), dan jumlah seluruh upah yang diterima dalam jangka waktu 1 (satu) bulan belum melebihi Rp. 1.100.000,- (satu juta seratus ribu rupiah), maka bendaharawan berkewajiban memotong PPh pasal 21 sebesar 5% dari jumlah upah harian dalam jangka waktu satu bulan.
d. Apabila upah harian atau rata-rata upah harian melebihi Rp. 110.000,- (seratus sepuluh ribu rupiah) dan jumlah seluruh upah yang diterima dalam jangka waktu 1 (satu) bulan melebihi Rp. 1.100.000,- (satu juta seratus ribu rupiah), maka bendaharawan berkewajiban memotong PPh pasal 21 sebesar 5% atas jumlah penghasilan dalam jangka waktu satu bulan (jumlah bruto) setelah dikurangi bagian dari penghasilan tersebut yang tidak dikenai pajak (penghasilan tidak kena pajak atau PTKP).
Penghasilan tidak kena pajak (PTKP) adalah bagian dari penghasilan/pembayaran upah yang tidak dipotong pajak. Pemotongan pajak dilakukan dengan mengkalikan tarif pajak dengan penghasilan kena pajak. Untuk menentukan besarnya penghasilan kena pajak (PKP), jumlah penghasilan bruto (pembayaran yang diterima) dikurangkan dengan penghasilan kena pajak.
Besar penghasilan tidak kena pajak (PTKP) adalah sebagai berikut :
Tabel 1
Besar Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)
PTKP Setahun PTKP Sebulan
a Untuk diri pekerja/ pegawai Rp. 13.200.000,- Rp. 1.100.000,-
b Tambahan untuk pekerja/ pegawai kawin Rp. 1.200.000,- Rp. 100.000,-
c Tambahan untuk setiap anak/ anak angkat yang menjadi tanggungan. Maksimal 3 (tiga) orang Rp. 1.200.000,- Rp. 100,000,-
Besar penghasilan tidak kena pajak untuk masing-masing status :
Tabel 2
Besar Penghasilan Tidak Kena Pajak Untuk Masing-masing Status
Status PTKP Setahun PTKP Sebulan
Tidak kawin/0 anak Rp. 13.200.000,- Rp. 1.100.000,-
Kawin/0 anak Rp. 14.400.000,- Rp. 1.200.000,-
Kawin/1 anak Rp. 15.600.000,- Rp. 1.300.000,-
Kawin/2 anak Rp. 16.800.000,- Rp. 1.400.000,-
Kawin/3 anak Rp. 18.000.000,- Rp. 1.500.000,-
* maksimal tanggungan untuk perhitungan PTKP adalah kawin/3 anak
Contoh I :
Bapak Karim sudah menikah dan mempunyai seorang anak adalah seorang tenaga bangunan bekerja dalam pembangunan RKB SMAN 1 Sindanglaya. Upah per hari yang ia terima sebesar Rp. 40.000,-. Bapak Karim bekerja selama 1 bulan (25 hari kerja) dalam pembangunan RKB SMAN 1 Sindanglaya. Pemotongan PPh pasal 21 untuk upah bapak Karim, adalah:
Upah per hari bapak karim atau rata-rata upah perhari bapak karim adalah Rp. 40.000,-. Sementara jumlah upah bapak Karim selama 1 bulan bekerja selama 25 hari adalah Rp. 40.000,- x 25 = Rp. 1.000.000,-Mengacu pada penjelasan diatas (b1) maka bendaharawan tidak diwajibkan memotong pajak dalam pembayaran upah bapak Karim.
Contoh II :
Bapak Robbi sudah menikah dan tidak punya anak adalah seorang pekerja bangunan. Ia bekerja dalam pembangunan USB SMAN 1 Ciseeng. Upah per hari bapak Robbi adalah Rp. 50.000,-, bapak Robbi bekerja selama 1 bulan (25 hari kerja). Pemotongan PPh pasal 21 untuk upah bapak Robbi adalah :
Upah harian bapak Robbi Rp. 50.000,- tidak melebihi Rp. 110.000,-. Bapak Robbi bekerja selama 1 bulan (25 hari kerja), maka jumlah upah bapak Robbi selama 1 bulan adalah Rp.50.000 x 25 = Rp. 1.250.000,-. Mengacu pada penjelasan diatas (b2), maka bendaharawan berkewajiban memotong PPh pasal 21 sebesar 5% atas jumlah pembayaran dalam jangka waktu satu bulan (jumlah bruto) setelah dikurangi bagian dari penghasilan tersebut yang tidak dikenai pajak (penghasilan tidak kena pajak atau PTKP).
Penghasilan Bruto Bapak Robbi selama 1 bulan Rp. 1.250.000,-
Penghasilan tidak kena pajak (PTKP) Rp. 1.200.000,- _
*(lihat tabel 2, kawin 0 anak)
Penghasilan kena pajak (PKP) Rp. 50.000,-
Pemotongan pajak (5%xRp. 50.000,-) Rp. 2.500,-
Penghasilan bapak Robbi setelah dikurangi PPh pasal 21 adalah Rp. 1.250.000,- dikurangi Rp. 2.500,- = Rp. 1.247.500,-.
Contoh III :
Bapak Jhony sudah menikah dan mempunyai dua orang anak, adalah seorang pekerja bangunan. Ia bekerja membangun laboratorium IPA dalam program BIS Mutu SMAN 1 Sukra. Upah per hari bapak Jhony adalah Rp. 120.000,-. Bapak Jhony bekerja selama 9 hari dalam pembangunan laboratorium IPA tersebut. Pemotongan PPh pasal 21 untuk upah bapak Jhony adalah :
Upah harian bapak Jhony melebihi Rp. 110.000,-. Bapak Jhony bekerja selama 9 hari, maka jumlah upah bapak Jhony selama 1 bulan (9 hari kerja) adalah Rp. 120.000,- x 9 = Rp. 1.080.000,-. Mengacu pada penjelasan diatas (b3), maka bendaharawan berkewajiban memotong PPh pasal 21 sebesar 5% dari jumlah upah harian dalam jangka waktu satu bulan.
Penghasilan Bruto bapak Jhony Rp. 1.080.000,-
selama 1 bulan (bekerja 9 hari)
Pemotongan pajak (5% x Rp. 1.080.000,-) Rp. 54.000,- -
Penghasilan neto bapak Jhony Rp. 1.026.000,-
Contoh IV :
Bapak Basri sudah menikah dan mempunyai empat orang anak, adalah seorang pekerja bangunan. Ia bekerja membangun USB SMAN 6 Bintang Terang. Upah per hari bapak Basri adalah Rp. 120.000,-. Bapak Basri bekerja selama 1 bulan (25 hari kerja). Pemotongan PPh pasal 21 untuk upah bapak Basri adalah :
Upah harian bapak Basri melebihi Rp. 110.000,-. Bapak Basri bekerja selama 1 bulan (bekerja selama 25 hari), maka jumlah penghasilan yang diterima oleh bapak Basri selama 1 bulan adalah : Rp. 120.000,- x 25 = Rp. 3.000.000,-. Mengacu pada penjelasan diatas (b4), maka bendaharawan berkewajiban memotong PPh pasal 21 sebesar 5% atas jumlah pembayaran dalam jangka waktu satu bulan (jumlah bruto) setelah dikurangi bagian dari pembayaran tersebut yang tidak dikenai pajak (penghasilan tidak kena pajak atau PTKP). Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) untuk bapak Basri adalah kawin/3 anak (lihat tabel 2), walaupun bapak Basri mempunyai empat anak. Maksimal tanggungan untuk perhitungan PTKP adalah kawin/3 anak.
Penghasilan Bruto Bapak Basri selama 1 bulan Rp. 3.000.000,-
Penghasilan tidak kena pajak (PTKP) Rp. 1.500.000,- _
*(lihat tabel 2, kawin 3 anak)
Penghasilan kena pajak (PKP) Rp. 1.500.000,-
Pemotongan pajak (5%xRp. 1.500.000,-) Rp. 75.000,-
Penghasilan bapak Basri setelah dikurangi PPh pasal 21 adalah Rp. 3.000.000,- dikurangi Rp. 75.000,- = Rp. 2.925.000,-.
4. Pembayaran honorarium block grant (PPh pasal 21)
Pembayaran honorium kepada PNS dikenakan pajak 15% dari jumlah pembayaran yang diterima, hanya berlaku untuk PNS golongan II/b ke atas. Sedangkan pemotongan PPh pasal 21 kepada tenaga ahli/konsultan perorangan (akuntan, arsitek, pengacara, ahli bangunan, dokter dan sebagainya) dikenakan PPh sebesar 7,5% dari jumlah pembayaran (penghasilan bruto) yang diterima.
Untuk pemotongan PPh pasal 21 kepada penerima honorarium yang meliputi : pengajar, penceramah, moderator, pengelola proyek, peserta sidang/rapat, peserta perlombaan (non PNS) dikenakan tarif pajak sebesar 5% dari jumlah pembayaran (penghasilan bruto) yang diterima.
Contoh I:
Drs. Hartono (PNS) sebagai pengelola proyek pembangunan RKB/USB, menerima honorarium sebesar Rp. 250.000,- Pemotongan PPh pasal 21 oleh bendaharawan adalah 15%xRp.250.000,- = Rp. 37.500,-. Dengan demikian honor yang diterima Drs. Hartono Rp. 250.000,- - Rp. 37.500,- = Rp. 212.500,-
Contoh II:
Dalam rangka pelaksanaan program BOMM, sekolah A mengundang Dr. Rivki (non PNS) sebagai pembicara dalam kegiatan pelatihan internet siswa. Dr. Rivki (non PNS) menerima pembayaran honorarium sebesar Rp. 750.000,-. Pemotongan pajak PPh pasal 21 oleh bendaharawan adalah 5%xRp. 750.000,- = Rp. 37.500,-. Dengan demikian honor yang diterima Dr. Rivki Rp. 750.000,- - Rp. 37.500,- = Rp. 712.500,-
Contoh III:
Ir. Darmawan seorang arsitek penerimaan pembayaran untuk pembuatan gambar bangunan USB sebesar Rp. 5.000.000,-. Yang dipotong/dipungut dan disetor oleh bendarawan block grant ke kas negara adalah 7,5% x Rp. 5.000.000,- = Rp. 375.000,-. Dengan demikian honor yang diterima Ir. Darmawan Rp. 5.000.000,- - Rp. 375.000,- = Rp.4.625.000,-
5. Pengadaan Jasa Akomodasi/Konsumsi dan sewa menyewa
Pengadaan jasa akomodasi dan konsumsi oleh hotel/restoran/ rumah makan non badan usaha hanya dikenakan pajak PPh pasal 22 sebesar 1,5% dari jumlah pembayaran. Jika penyedia jasa berbentuk badan usaha dikenakan tarif pajak PPn 10% dan PPh pasal 22 sebesar 1,5%. Sedangkan kegiatan sewa-menyewa (seperti komputer, ruang sidang dan sebagainya) dikenakan pajak sebesar 6 % dari nilai sewa. Pemungutan dan penyetoran pajak dilakukan oleh bendaharawan blockgrant atau penyedia jasa.
Contoh III:
SMA Negeri Y menyewa ruang sidang untuk pelatihan penyusunan silabus selama 10 hari, biaya sewa per hari Rp. 250.000,-. Biaya pajak yang harus dibayar adalah:
Untuk penyewaan kepada non badan usaha pengenaan pajak yang dipungut adalah:
- Biaya sewa ruangan 10 hari x Rp. 250.000,- = Rp. 2.500.000,-
- PPh pasal 22 yang dipungut 1,5% x 2.500.000,-= Rp 37.500,-
Untuk penyewaan kepada non badan usaha pengenaan pajak yang dipungut adalah:
- Biaya sewa ruangan 10 hari x Rp. 250.000,- = Rp 2.500.000,-
- PPh pasal 22 yang dipungut 1,5% x 2.500.000,-= Rp 37.500,-
- PPn yang dipungut 10% x 2.500.000,- = Rp 250.000,-
6. PPh Pasal 23 atas penghasilan pemberi jasa
Kewajiban perpajakan yang terkait dengan penggunaan dana blockgrant, baik pada Sekolah Negeri dan Sekolah Swasta untuk membayar imbalan jasa perawatan atau pemeliharaan sekolah yang dibayarkan kepada Badan Usaha bukan orang pribadi yang melaksanakan pemeliharaan atau perawatan sekolah.
Tarif pemotongan PPh Pasal 23 untuk pemberi jasa adalah sebesar 15% (adalah merupakan tarif dasar dari PPh 23) x 40% (pengenaan pajak yang berkaitan dengan butir-butir a s.d. d di bawah) atau sebesar 6% dari jumlah imbalan bruto tidak termasuk PPN.
Yang termasuk dalam jasa pemeliharaan atau perawatan sekolah adalah:
a. Jasa instalasi/pemasangan mesin dan jasa instalasi/pemasangan peralatan;
b. Jasa instalasi/pemasangan listrik/telepon/air/gas/TV kabel;
c. Jasa perawatan/pemeliharaan/perbaikan bangunan.
d. Jasa sehubungan dengan software komputer, termasuk perawatan/pemeliharaan dan perbaikan.
Contoh:
Kab/Kota “x” membangun USB SMA Negeri Sukarame. Biaya pemasangan instalasi listrik sebesar Rp. 5.000.000,-. Maka pajak yang harus dipungut bendahara sesuai dengan ketentuan PPh pasal 23 adalah:
- Biaya pemasangan instalasi listrik Rp. 5.000.000,-
- PPh pasal 23 yang dipungut
6 % x Rp. 5.000.000,- Rp 300.000,-
D. Penyetoran Pajak
Bendaharawan block grant kemudian menghitung, memotong dan menyetor pajak untuk setiap bulan dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) ke kantor pos dan giro atau bank persepsi (bank yang menerima penyetoran pajak).
Penyetoran PPn dan PPh (yang dilakukan oleh bendaharawan block grant) paling lambat tanggal 15. Jika transaksi dilakukan di atas tanggal 15, maka penyetoran dilakukan paling lambat pada tanggal 15 bulan berikutnya. Penyetoran dapat dilakukan pada bank persepsi (bank yang menerima penyetoran pajak) dan kantor pos terdekat.
Dalam melakukan pelaporan pajak, bendaharawan mengisi Surat Pemberitahuan (SPT) pajak. Surat Pemberitahuan bisa didapatkan di kantor pelayanan pajak setempat.
Bendaharawan block grant wajib melaporkan penyetoran pajak tersebut ke kantor pelayanan pajak, paling lambat tanggal 20. Apabila penyetoran di atas tanggal 20, maka laporan paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya.
Penyetoran dan pelaporan dalam bentuk rekapitulasi dari semua transaksi yang sudah berjalan.
Ketentuan pajak yang disusun pada pedoman ini, berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang Pajak Pertambahan hasil (PPh) dan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 tentang Pajak Pertambahan nilai (PPn).
E. Bea Materai
Bea materai merupakan Pembaharuan Perpajakan Nasional yang dilaksanakan dalam rangka menegakkan kemandirian dalam membiayai pengeluaran negara dan pembangunan nasional dengan mewujudkan kesertaan dan kegotong-royongan masyarakat dalam membiayai pembangunan nasional.
Tarif bea materai adalah sebesar Rp. 3.000,00 dan Rp. 6.000,00.
Tarif materai Rp. 3.000,00 dikenakan atas dokumen:
1. surat yang memuat jumlah uang lebih dari Rp. 250.000,00 sampai dengan Rp. 1.000.000,00 yaitu:
a. yang menyebutkan penerimaan uang
b. yang menyatakan pembukaan uang atau penyimpanan uang di dalam rekening bank
c. yang berisi pemberitahuan saldo rekening di bank
d. yang berisi pengakuan bahwa hutang uang sebagian atau seluruhnya telah dilunasi
2. Surat-surat berharga seperti wesel, promes dan bernominal lebih dari Rp. 250.000,00 tetapi tidak lebih dari Rp. 1.000.000,00
3. Efek dengan nama dan dalam bentuk apapun yang mempunyai harga nominal lebih dari Rp. 250.000,00 tetapi tidak lebih dari Rp. 1.000.000,00
a. Sekumpulan efek dengan nama dan dalam bentuk apapun yang tercantum dalam surat kolektif yang mempunyai harga nominal sampai dengan Rp. 1.000.000,00
b. Cek dan Bilyet Giro dengan nominal berapapun
Tarif materai Rp. 6.000,00 dikenakan atas dokumen:
1. Surat perjanjian dan surat-surat lainnya yang digunakan sebagai alat pembuktian mengenai perbuatan, pernyataan atau keadaan yang bersifat perdata
2. Akta Notaris termasuk salinannya
3. Akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah
4. Dokumen yang akan digunakan sebagai alat pembuktian dimuka pengadilan
5. Dokumen atau surat yang memuat jumlah uang lebih dari Rp. 1.000.000,00
6. Surat-surat berharga seperti wesel dan promes yang bernominal lebih dari Rp. 1.000.000,00
7. Efek dengan nama dan dalam bentuk apapun yang mempunyai harga nominal lebih dari Rp. 1.000.000,00
F. Sanksi
1. Sanksi Pajak
Sanksi Perpajakan merupakan alat pencegah (preventive) agar wajib pajak tidak melanggar undang-undang atau norma perpajakan. Dalam Undang-undang Perpajakan dikenal 2 (dua) macam sanksi yaitu :
a. Sanksi Administrasi
Sanksi adminitrasi merupakan sanksi yang dikenakan apabila terjadi pelanggaran yang menyangkut kewajiban material maupun formal. Sanksi administrasi terdiri atas tiga (tiga) yaitu berupa :
1) Denda
Wajib pajak yang dikenakan sanksi administrasi berupa denda apabila
• SPT tidak disampaikan atau terlambatdisampaikan untuk :
• Kekurangan pembayaran jumlah pajak yang sebenarnya terutang sebesar 2 (dua) kali jumlah pajak yang kurang bayar.
• Tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong tau dipungut sehingga menimbulkan kerugian pada negara didenda 4 (empat) kali jumlah pajak yang terutang yang tidak atau kurang dibayar.
• Mengajukan permohonan restitusi atau melakukan kompensasi pajak dengan menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak Nomor Pajak Wajib Pajak atau Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak atau menyampaikan Surat Pemberiatahuan dan atau keterangan isinya tidak benar dan tidak lengkap didenda paling tinggi 4 (empat) kali jumlah restitusi yang dimohon dan atau kompensasi yang dilakukan oleh wajib pajak.
• Dengan sengaja memberi keterangan atau bukti, atau membei keterangan atau bukti yang tidak benar didenda paling banyak Rp. 10.000.000 (sepuluh juta rupiah).
• Setiap orang dengan sengaja menghalangi atau mempersulit penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan didenda paling banyak Rp. 10.000.000 (sepuluh juta rupiah).
• Terhadap pengusaha atau Pengusaha Kena Pajak yang tidak melaporkan kegiatan usaha, dan tidak membuat faktur pajak atau membuat faktur pajak tetapi tidak tepat atau tidak mengisi dengan sebenarnya dikenakan denda sebesar 2% (dua persen) dari daasar pengenaan pajak.
Contoh 1
Pada bulan Juni 2004 PT. Trimitra terhutang pajak sebesar Rp. 500.000,00 sudah dibayar tepat waktu, sedangkan SPT-nya baru disampaikan pada tanggal 20 Oktober 2004
Diminta :
Hitunglah sanksi yang harus dibayar PT. Trimitra
Penyelesaian:
Pajak kurang bayar Rp. 0,00
Sanksi denda Rp. 50.000,00
Pajak yang harus dibayar Rp. 50.000,00
Contoh 2
Pada tahun 2003 PT. Trimitra terhutang PPh Rp. 15.000.000,00 dan dibayar tepat waktu Rp. 10.000.000,00. SPT baru disampaikan pada tanggal 50 Juni 2004
Diminta:
Hitunglah pajak yang harus dibayar oleh PT. Trimitra
Penyelesaian :
Pajak yang terhutang Rp. 15.000.000,00
Bayar tepat waktu Rp. 10.000.000,00
Pajak kurang bayar Rp. 5.000.000,00
Sanksi denda (SPT) Rp. 100.000,00
Pajak yang masih harus dibayar Rp. 5.100.000,00
Pejabat yang dikenakan sanksi administrasi berupa denda apabila :
1) Karena kealpaan tidak memenuhi kewajiban merahasiakan segala sesuatu tentang dari wajib pajak didenda paling banyak Rp. 4.000.000 (empat juta rupiah).
2) Karena kesengajaan tidak memenuhi kewajiban merahasiakan segala sesuatu tentang diri wajib pajak didenda paling banyak Rp. 10.000.000 (sepuluh juta rupiah)
2). Bunga
Wajib pajak dikenakan sanksi administrasi berupa bunga apabila :
• Wajib pajak membetulkan sendiri SPT yang mengakibatkan utang pajak menjadi lebih besar dikenakan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan atas jumlah pajak yang kurang dibayar, dihitung sejak saat penyampaian SPT sampai dengan pembayaran karena pembetulan SPT tersebut.
• Pembayaran atau penyetoran pajak dilakukan setelah jatuh tempo pembayaran atau penyetoran pajak dikenakan bunga sebesar 2% (dua persen) sebelan yang dihitung dari jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
• Jumlah kekurangan pajak yang terhutang dalam SPT dikenakan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan, dihitung sejak saat terutangnya pajak sampai dengan diterbitkannya SPT.
• Jangka waktu 10 (sepuluh) tahun lebih telah lewat, SKPKBT tetap dapat diterbitkan ditambah bunga sebesar 48% (empat puluh delapan persen) dari jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar dalam hal wajib pajak dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan.
• Pajak yang terutang menurut SKPKB, SKPKBT, dan tambahan jumlah pajak yang harus dibayar berdasarkan surat keputusan pembetulan, surat keputusan keberatan, atau putusan banding pada saat jatuh tempo pembayaran tidak atau kurang dibayar, maka atas jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar dikenakan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan untuk seluruh masa, yang dihitung dari tanggal jatuh tempo sampai dengan tanggal pembayaran atau tanggal diterbitkan STP, dan bagian dari bulan dihitung 1 (satu) bulan.
• Wajib pajak mengangsur atau menunda pembayaran pajak dikenakan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
• Menunda penyampaian SPT dan ternyata perhitungan sementara pajak yang terutang kurang dari jumlah pajak sebenarnya, maka atas kekurangan tersebut dikenakan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan yang dihitung dari saat berakhirnya kewajiban penyampaian SPT sampai dengan tanggal dibayarnya kekurangan pembayaran tersebut.
Direktur Jenderal Pajak (KPP) akan dikenakan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan dalam hal :
• SKPLB terlambat diterbitkan
• Pengajuan keberatan dan banding diterima sebagian atau seluruhnya
• Terlambat pengembalian kelebihan pembayaran pajak.
Contoh 3
Jika pada contoh 2 diatas pajak kurang bayar dibayar bersamaan dengan penyampaian SPT
Diminta :
Hitunglah pajak yang dibayar oleh PT. Trimitra
Penyelesaian :
Pajak yang terhutang Rp. 15.000.000,00
Bayar tepat waktu Rp. 10.000.000,00
Pajak kurang bayar Rp. 5.000.000,00
Sanksi bunga : 2% x 3 x Rp. 5.000.000,00 Rp. 300.000,00
Sanksi denda Rp. 100.000,00
Pajak yang masih harus dibayar Rp. 5.400.000,00
3). Kenaikan
Wajib pajak dikenakan sanksi administrasi berupa kenaikan apabila :
• Pajak yang kurang dibayar atau timbul sebagai akibat dari pengungkapan ketidakbenaran pengisian SPT dikenakan kenaikan sebesar 50% (lima puluh persen) dari pajak yang kurng dibayar, dan harus dilunasi sendiri oleh wajib pajak sebelum laporan tersendiri disampaikan (PPh Pasal 25)
• Kekurangan pajak yang terutang dalam SKPKBT, ditambah dengan kenaikan sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah kekurangan tersebut (PPh Pasal 21, 22, 23 dan 26)
• 100% (seratus persen) dari PPN dan PPnBM yang tidak atau kurang dibayar
Sanksi berupa kenaikan apabila SPT tidak disampaikan dan setelah ditegur oleh fiskus juga tidak disampaikan oleh wajib pajak dalam batas waktu yang ditentukan dalam surat teguran.
Contoh 4
Pada bulan Juli 2004 PT. Trimitra terhutang PPN sebesar Rp. 100.000.000,00. KPP menerbitkan SKPKB pada tanggal 10 Oktober 2004
Diminta :
Hitunglah pajak yang dibayar oleh PT. Trimitra
Penyelesaian :
Pajak yang terhutang Rp. 100.000.000,00
Pajak yang dibayar Rp. 0,00
Pajak kurang bayar Rp. 100.000.000,00
Sanksi kenaikan 100% x Rp. 100.000.000,00 Rp. 100.000.000,00
Pajak yang masih harus dibayar Rp. 200.000.000,00
Contoh 5
Jika pada contoh 4 diats pajak yang terhutang baru dibayar pada tanggal 9 Oktober 2004
Diminta :
Hitunglah pajak yang dibayar oleh PT. Trimitra
Penyelesaian :
Pajak yang terhutang Rp. 100.000.000,00
Sanksi : 2% x 3 Rp. 10.000.000,00 Rp. 6.000.000,00
Pajak yang harus dibayar Rp. 106.000.000,00
4). Sanksi Pidana
Sanksi pidana yaitu sanksi yang dikenakan apabila terjadi tindak pidana perpajakan yang dilakukan oleh wajib pajak, atau pihak lain yang ditunjuk sebagai wakil atau kuasa wajib pajak. Sanksi pidana dikenakan juga terhadap instansi pajak yang membocorkan rahasia wajib pajak yang diberitahukan kepadanya.
Sanksi pidana terdiri atas :
a) Pidana Kurungan
Setiap orang yang karena kealpaannya :
• Tidak menyampaikan SPT, atau
• Menyampaikan SPT, tetapi isinya tidak benar dan tidak lengkap atau melampirkan keterangan yang isinya tidk benar sehingga dapat merugikan pada pendapatan negara dipidana dengan pidana perpajakan 2005-2006 kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan atau denda paling tinggi 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar.
b). Pidana Penjara
Barang siapa dengan sengaja :
• Tidak mendaftarkan diri atau menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) atau Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak (PPKP) sebagai mana dimaksud dalam pasal 2 atau
• Tidak menyampaikan SPT, atau
• Menyampaikan SPT dan atau keterangan yang isinya tidak benar, atau tidak lengkap, atau
• Menolak untuk dilakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 29 atau
• Memperlihatkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen lain yang palsu atau dipalsukan seolah-olah benar, atau
• Tidak menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan, tidak memperlihatkan atau tidak meminjamkan buku, catatan atau dokumen lainnya, atau
• Tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut, sehingga menimbulkan kerugian pada pendapatan negara, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling tinggi 4 (empat) kali jumlah pajak yang terutang yang tidak atau kurang dibayar
• Pidana sebagaiman dimaksud point 1 sampai dengan 7 diatas dilipatkan 2 (dua) lewat 1 tahun, terhitung sejak selesainya menjalani pidana penjara yang dijatuhkan
- Pejabat instansi pajak yang dikenakan penjara kurungan apabila karena kealpaan tidak memenuhi kewajiban merahasiakan segala sesuatu yang diberitahukan oleh wajib pajak karena jabatannya, dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp. 4.000.000,00 (empat juta rupiah)
- Pejabat instansi pajak yang dikenakan sanksi pidana penjara apabila karena kesengajaan tidak memenuhi kewajibannya atau seseorang yang menyebabkan tidak dipenuhinya kewajiban tenaga ahli yang ditunjuk Dirjen Pajak (Pasal 34) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp. 10.000.000 (sepuluh juta rupiah)
- Setiap orang yang menurut pasal 35 UU Perpajakan Tahun 2000 tentang KUT wajib memberikan keterangan atau bukti yang diminta tetapi dengan sengaja tidak memberi keterangan atau bukti, atau memberikan keterangan atau bukti yang tidak benar, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp. 10.000.000 (sepuluh juta rupiah)
- Penunututan terhadap tindak pidana yang dilakukan pejabat, dilakukan hanya atas pengaduan ari wajib pajak yang kerahasiannya dilarang.
- Tindak pidana perpajakan tidak dapat dituntut setelah lampau sepuluh tahun sejak berakhirnya masa pajak.
Contoh
Pada tahun pajak 2003 PT. Trimitra terhutang pajak Rp. 10.000.000,00. Dari hasil penelitian KPP menyebutkan bahwa PT. Trimitra dengan sengaja tidak membayar pajak yang terhutang.
Diminta :
Hitunglah pajak yang harus dibayar oleh PT. Trimitra
Penyelesaian :
Pajak yang terhutang Rp. 10.000.000,00
Sanksi denda 4 x Rp. 10.000.000,00 Rp. 40.000.000,00
Pajak yang harus dibayar Rp. 50.000.000,00
Dari urai di atas dapat disimpulkan bahwa sanksi pidana terdiri atas sanksi pidana khusus (murni) yaitu pidana penjara dan kurungan dan sanksi pidana tambahan yaitu pidana berupa denda. Dengan demikian sanksi dalam perpajakan merupakan perpaduan antara sanksi administrasi dan sanksi pidana, artinya dapat dikenakan sanksi administrasi saja atau sanksi pidana saja atau kedua-duanya.
2. Sanksi Materai
Sanksi yang terutang Bea Materai adalah :
a. Sanksi Administrasi
Apabila dokumen tidak atau kurang dilunasi Bea Materai sebagaimana mestinya, dikenakan denda administrasi sebesar 200% dari Bea Materai yang tidak atau kurang dibayar, dengan cara pemeteraian kemudian.
Cara pelunasan dengan cara pemeteraian kemudian yaitu :
Dokumen yang dibuat di luar negeri pada saat digunakan di Indonesia harus telah dilunasi Bea Materai. Pemeteraian kemudian atas dokumen tersebut dilakukan oleh pejabat pos menurut tata cara yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan. Hubungan antara pemeteraian kemudian dengan denda administrasi adalah pemeteraian kemudian tanpa denda dan dengan denda 200 %.
Pemeteraian kemudian tanpa denda meliputi :
1) Dokumen luar negeri yang belum digunakan
2) Surat-surat biasa dan surat kerumah tanggaan, sebagai alat bukti di pengadilan
3) Dokumen yang semula tidak dikenakan Bea Materai berdasarkan tujuannya atau dipergunakan oleh orang lain (sebagai alat bukti di pengadilan).
Pemeteraian kemudian dengan denda 200% meliputi :
1) Semua dokumen yang semestinya dikenakan Bea Materai tetapi tidak atau kurang dibayar Bea Materainya.
2) Dokumen luar negeri sudah dipakai sebagai dokumen di Indonesia baru dimateraikan.
Contoh :
1) Dokumen yang seharusnya dikenakan Bea Materai sebesar Rp. 3000 tetapi tidak diberi materai
Bea Materai yang tidak dibayar Rp. 3.000,00
Denda administrasi (200%) Rp. 6.000,00
Jumlah pemeteraian kemudian Rp. 9.000,00
2) Dokumen yang seharusnya dikenakan Bea Materai sebesar Rp. 6.000 tetapi tidak diberi materai
Bea Materai yang tidak dibayar Rp. 3.000,00
Denda administrasi (200%) Rp. 12.000,00
Jumlah pemeteraian kemudian Rp. 18.000,00
Sanksi administrasi juga dikenakan terhadap :
1) Pejabat pemerintah, hakim, panitera, jurusita, notaris dan pejabat umum lainnya, masing-masing dalam tugas dan jabatannya. Mereka tidak dibenarkan:
• Menerima, mempetimbangkan atau menyimpan dokumen yang Bea Materainya tidak atau kurang dibayar.
• Meletakan dokumen yang Bea Materainya tidak atau kurang dibayar sesuai dengan tarifnya pada dokumen lain yang berkaitan.
• Membuat salinan, tembusan, rangkapan atau petikan dari dokumen yang Bea Materainya tidak atau kurang dibayar.
• Memberikan kekurangan atau catatan pada dokumen yang tidak atau kurang dibayar sesuai dengan tarif Bea Materai
2) Pejabat pemerintah/pegawai negeri yang karena jabatannya melanggar ketentuan Bea Materai dikenakan sanksi administrasi antara lain :
• Dengan teguran, peringatan
• Tunda kenaikan gaji/pangkat
• Diberhentikan
b. Sanksi Pidana
Sanksi pidana dikenakan terhadap :
1) Pemalsuan Meterai Tempel dan Kertas Materai dan tanda tangan untuk :
• Mensahkan materai, menyimpan, menjual, menawarkan, menyerahkan, menggunakan atau menyediakan untuk dijual.
• Menyimpan semua bahan atau perkakas yang diketahui untuk meniru dan memalsukan benda materai.
Sanksi terhadap pemalsuan tersebut dapat berupa penjara atau kurungan berdasarkan keputusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum.
2) Dengan sengaja menggunakan cara lain untuk pelunasan Bea Materai, tanpa seijin Menteri Keuangan, dipidana dengan penjara selama-lamanya 7 (tujuh) tahun.
c. Penangung Jawab Sanksi
1) Untuk sanksi administrasi adalah pemegang dokumen
2) Untuk sanksi pidana adalah sesuai Keputusan Pengadilan
Pajak
PAJAK DALAM BLOCK GRANT
A. Pengertian dan Fungsi Pajak
Pajak dapat diartikan sebagai iuran wajib dari rakyat kepada kas negara sebagai wujud peran serta dalam pembangunan, yang pengenaannya berdasarkan undang-undang dan tidak mendapat imbalan secara langsung, serta dapat dipaksakan kepada mereka yang melanggarnya.
Pajak berfungsi sebagai alat untuk memasukkan uang ke kas negara yang kemudian, akan dialokasikan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran negara. Pajak yang dihimpun oleh negara pada gilirannya akan digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran rutin negara.
B. Pemungut/Pemotong PPn, Pajak Penghasilan Pasal 21, Pasal 22 dan Pasal 23
Kewajiban perpajakan yang terkait dengan penggunaan dana blockgrant adalah:
1. Pemotongan PPh Pasal 21 atas penghasilan honorarium atau gaji;
2. Pemungutan PPh Pasal 22 atas penghasilan penjualan barang;
3. Pemotongan PPh Pasal 23 atas penghasilan pemberi jasa;
4. Pemungutan PPN atas pembelian Barang Kena Pajak dan Perolehan Jasa Kena Pajak.
Pemungut pajak adalah pejabat yang ditunjuk oleh menteri/ketua lembaga sebagai bendaharawan/bendaharawan proyek dan bendaharawan pemerintah daerah.
Dalam hal dana blockgrant yang diberikan kepada SMA Negeri, maka penanggung jawab atau bendaharawan merupakan Pemungut/Pemotong Pajak.
Dalam hal dana blockgrant yang diberikan kepada SMA Swasta, maka penanggung jawab atau bendaharawan bukan merupakan Pemungut/Pemotong Pajak.
Oleh karena itu penanggung jawab atau bendaharawan pada sekolah swasta penerima dana blockgrant harus terdaftar sebagai wajib pajak dan memiliki NPWP atau untuk memudahkan administrasi dapat menggunakan NPWP sekolah atau yayasan sekolah.
C. Ketentuan Perpajakan Blockgrant
Penyaluran dana block grant melalui KPPN dari pemberi bantuan kepada penerima bantuan tidak dipungut pajak sesuai Surat Edaran Dirjen Anggaran No SE-181/A/2003 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pencairan dan Penyaluran Subsidi/Bantuan/Block Grant untuk Peningkatan Mutu SMU Provinsi. Sehingga jumlah dana block grant yang diterima sama besarnya dengan nilai yang tercantum pada Surat Perjanjian Penggunaan Dana (SP2D).
Kewajiban membayar pajak mulai berlaku pada saat pengelola block grant melakukan transaksi pembayaran dengan menggunakan dana block grant, seperti untuk pembelian barang dan jasa dan pembayaran berbagai macam honoraium/upah/gaji/lembur dan lain sebagainya dengan ketentuan sebagai berikut.
1. Pembelian Barang/jasa (PPn dan PPh Pasal 22)
Setiap traksaksi pembelian barang/jasa yang termasuk kategori Barang Kena Pajak (BKP) dan Jasa Kena Pajak (JKP) di atas Rp. 1.000.000 (satu juta rupiah) dan bukan merupakan jumlah yang dipecah-pecah dengan menggunakan dana APBN dan APBD (termasuk dana block grant) dikenakan :
a. Pajak Pertambahan Nilai (PPn) sebesar 10% (sepuluh persen) dari harga barang;
b. Pajak Pertambahan Hasil/PPh pasal 22 sebesar 1,5% (satu setengah persen) dari harga pembelian (harga sebelum dikenakan PPn).
Untuk pembelian barang kena pajak dan jasa kena pajak dengan jumlah transaksi tidak melebihi Rp. 1.000.000 (satu juta rupiah) dan bukan merupakan jumlah yang dipecah-pecah dengan menggunakan dana APBN dan APBD, maka atas pembelian tersebut tidak dilakukan pemungutan PPh pasal 22.
Perlakuan Pajak Pertambahan Nilai (PPn) dan Pajak Pertambahan Hasil (PPh) pasal 22 berbeda antara sekolah negeri dan sekolah bukan negeri. Bendaharawan pada sekolah negeri, untuk setiap transaksi pembelian barang/jasa yang termasuk kategori Barang Kena Pajak (BKP) dan Jasa Kena Pajak (JKP) di atas Rp. 1.000.000 (satu juta rupiah), dan bukan merupakan jumlah yang dipecah-pecah, dengan menggunakan dana APBN dan APBD (termasuk dana block grant) berkewajiban untuk memotong Pajak Pertambahan Nilai (PPn) sebesar 10% (sepuluh persen) dari harga barang dan Pajak Pertambahan Hasil/PPh pasal 22 sebesar 1,5% (satu setengah persen) dari harga pembelian (harga sebelum dikenakan PPn).
Bendaharawan pada sekolah swasta, berkewajiban untuk memotong PPN sebesar 10% (sepuluh persen) dari harga barang, namun tidak mempunyai kewajiban untuk memotong PPh pasal 22 sebesar 1,5% (satu setengah persen), walaupun nilai transaksi pembelian barang kena pajak dan jasa kena pajak melebihi Rp. 1.000.000 (satu juta rupiah).
Pembelian barang/jasa secara langsung (tidak kontrak) ke penyedia/penjual barang dan jasa berstatus badan usaha (PT/CV/UD/Koperasi dan sebagainya) dan memiliki NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak), biasanya pembeli sudah dibebankan/dipungut pajak PPn sebesar 10% dari harga oleh penjual.
Bukti pemungutan PPn tercantum pada faktur pajak baik dalam bentuk standar maupun sederhana, seperti : bon kontan/faktur penjualan/kwitansi/kas register dan bukti pembayaran lainnya yang sejenis.
Sedangkan kewajiban pajak PPh pasal 22 dipungut dan disetor oleh bendaharawan block grant pada sekolah negeri sebesar 1,5% dari harga barang sebelum Pajak Pertambahan Nilai, untuk sekolah bukan negeri bendaharawan tidak berkewajiban untuk memotong PPh pasal 22.
Contoh:
SMA ”X” membeli 50 sak semen @ Rp. 20.000,- dan pasir seharga Rp. 1.000.000 pada Toko “Y”, maka dasar perhitungan PPn dan PPh pasal 22 adalah sebagai berikut :
Harga 50 sak semen = 50 x Rp. 20.000,- Rp. 1.000.000,-
Harga pasir Rp. 1.000.000,-
Jumlah Pembelian Rp. 2.000.000,-
PPn 10 % = Rp. 10% x Rp. 2.000.000,- Rp. 200.000,-
Rp. 2.200.000,-
PPh pasal 22 = 1,5% x Rp. 2.000.000,- Rp. 30.000,-
Harga 50 sak semen termasuk PPn + PPh Ps 22 Rp 2.230.000,-
Pada contoh di atas dapat dijelaskan bahwa:
a. Bagi sekolah negeri:
PPn dipungut dan disetor oleh penyedia barang/jasa. Sedangkan pajak PPh pasal 22 dipungut dan disetor oleh bendaharawan block grant sekolah negeri. Jika penjual tidak memotong PPn, maka bendarawan block grant berkewajiban memotong dan menyetor PPn dan PPh sekaligus.
b. Bagi sekolah swasta:
PPn dipungut dan disetor oleh penyedia barang/jasa. Sedangkan pajak PPh pasal 22 dipungut dan disetor oleh bendaharawan block grant sekolah swasta yang telah mendaftar sebagai wajib pajak dan memiliki NPWP atau melalui bendahara yayasan. Jika penjual tidak memotong PPn, maka bendarawan block grant berkewajiban memotong dan menyetor PPn dan PPh sekaligus.
Tidak dibenarkan melakukan pemecahan transaksi pada hari dan penjual yang sama dengan maksud untuk menghindar dari kewajiban membayar pajak.
2. Pengadaan buku pelajaran pokok dan buku penunjang untuk perpustakaan
Pada pelaksanaan program blockgrant untuk pembelian buku pelajaran umum, kitab suci, dan buku pelajaran agama tidak terkena PPn akan tetapi tetap terkena Pajak Penghasilan (PPh) pasal 22 sebesar 1,5% dari nilai pembelian di atas Rp. 1.000.000,-
Dalam hal ini, nilai pembelian tersebut tidak melebihi Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah) dan bukan merupakan jumlah yang dipecah-pecah, maka atas pengadaan atau pembelian tersebut tidak dilakukan pemungutan PPh pasal 22.
Contoh:
SMA Negeri X membeli buku pelajaran 100 eksemplar @ Rp. 20.000,- pada Toko Y, PPh pasal 22 adalah sebagai berikut :
Harga buku 100 eks. = 100 x Rp. 20.000,- Rp. 2.000.000,-
PPh pasal 22 = 1,5% x Rp. 2.000.000,- Rp. 30.000,-
Harga 100 eks buku (termasuk PPh) Rp 2.030.000,-
3. Pembayaran upah/gaji/lembur block grant (PPh pasal 21)
Pada pelaksanaan program blockgrant dimungkinkan terjadi aktifitas pembayaran upah/gaji/lembur yang akan terkena Pajak Penghasilan (PPh) pasal 21.
Bendaharawan blockgrant yang membayar upah kepada perorangan/pekerja (pegawai tidak tetap dan bukan tenaga ahli) terkait dengan pelaksanaan program blockgrant berkewajiban memotong Pajak Penghasilan (PPh) pasal 21, dengan ketentuan sebagai berikut :
a. Apabila upah harian atau rata-rata upah harian tidak melebihi Rp. 110.000,- (seratus sepuluh ribu rupiah) dan jumlah seluruh upah yang diterima dalam jangka waktu satu bulan belum melebihi Rp. 1.100.000,- (satu juta seratus ribu rupiah), maka bendaharawan tidak berkewajiban memotong PPh pasal 21.
b. Apabila upah harian atau rata-rata upah harian tidak melebihi Rp. 110.000,- (seratus sepuluh ribu rupiah), namun jumlah seluruh upah yang diterima dalam jangka waktu satu bulan telah melebihi Rp. 1.100.000,- (satu juta seratus ribu rupiah), maka bendaharawan berkewajiban memotong PPh pasal 21 sebesar 5% (non PNS) atas jumlah penghasilan dalam jangka waktu satu bulan (jumlah bruto) setelah dikurangi bagian dari penghasilan tersebut yang tidak dikenai pajak (penghasilan tidak kena pajak atau PTKP).
c. Apabila upah harian atau rata-rata upah harian melebihi Rp. 110.000,- (seratus sepuluh ribu rupiah), dan jumlah seluruh upah yang diterima dalam jangka waktu 1 (satu) bulan belum melebihi Rp. 1.100.000,- (satu juta seratus ribu rupiah), maka bendaharawan berkewajiban memotong PPh pasal 21 sebesar 5% dari jumlah upah harian dalam jangka waktu satu bulan.
d. Apabila upah harian atau rata-rata upah harian melebihi Rp. 110.000,- (seratus sepuluh ribu rupiah) dan jumlah seluruh upah yang diterima dalam jangka waktu 1 (satu) bulan melebihi Rp. 1.100.000,- (satu juta seratus ribu rupiah), maka bendaharawan berkewajiban memotong PPh pasal 21 sebesar 5% atas jumlah penghasilan dalam jangka waktu satu bulan (jumlah bruto) setelah dikurangi bagian dari penghasilan tersebut yang tidak dikenai pajak (penghasilan tidak kena pajak atau PTKP).
Penghasilan tidak kena pajak (PTKP) adalah bagian dari penghasilan/pembayaran upah yang tidak dipotong pajak. Pemotongan pajak dilakukan dengan mengkalikan tarif pajak dengan penghasilan kena pajak. Untuk menentukan besarnya penghasilan kena pajak (PKP), jumlah penghasilan bruto (pembayaran yang diterima) dikurangkan dengan penghasilan kena pajak.
Besar penghasilan tidak kena pajak (PTKP) adalah sebagai berikut :
Tabel 1
Besar Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)
PTKP Setahun PTKP Sebulan
a Untuk diri pekerja/ pegawai Rp. 13.200.000,- Rp. 1.100.000,-
b Tambahan untuk pekerja/ pegawai kawin Rp. 1.200.000,- Rp. 100.000,-
c Tambahan untuk setiap anak/ anak angkat yang menjadi tanggungan. Maksimal 3 (tiga) orang Rp. 1.200.000,- Rp. 100,000,-
Besar penghasilan tidak kena pajak untuk masing-masing status :
Tabel 2
Besar Penghasilan Tidak Kena Pajak Untuk Masing-masing Status
Status PTKP Setahun PTKP Sebulan
Tidak kawin/0 anak Rp. 13.200.000,- Rp. 1.100.000,-
Kawin/0 anak Rp. 14.400.000,- Rp. 1.200.000,-
Kawin/1 anak Rp. 15.600.000,- Rp. 1.300.000,-
Kawin/2 anak Rp. 16.800.000,- Rp. 1.400.000,-
Kawin/3 anak Rp. 18.000.000,- Rp. 1.500.000,-
* maksimal tanggungan untuk perhitungan PTKP adalah kawin/3 anak
Contoh I :
Bapak Karim sudah menikah dan mempunyai seorang anak adalah seorang tenaga bangunan bekerja dalam pembangunan RKB SMAN 1 Sindanglaya. Upah per hari yang ia terima sebesar Rp. 40.000,-. Bapak Karim bekerja selama 1 bulan (25 hari kerja) dalam pembangunan RKB SMAN 1 Sindanglaya. Pemotongan PPh pasal 21 untuk upah bapak Karim, adalah:
Upah per hari bapak karim atau rata-rata upah perhari bapak karim adalah Rp. 40.000,-. Sementara jumlah upah bapak Karim selama 1 bulan bekerja selama 25 hari adalah Rp. 40.000,- x 25 = Rp. 1.000.000,-Mengacu pada penjelasan diatas (b1) maka bendaharawan tidak diwajibkan memotong pajak dalam pembayaran upah bapak Karim.
Contoh II :
Bapak Robbi sudah menikah dan tidak punya anak adalah seorang pekerja bangunan. Ia bekerja dalam pembangunan USB SMAN 1 Ciseeng. Upah per hari bapak Robbi adalah Rp. 50.000,-, bapak Robbi bekerja selama 1 bulan (25 hari kerja). Pemotongan PPh pasal 21 untuk upah bapak Robbi adalah :
Upah harian bapak Robbi Rp. 50.000,- tidak melebihi Rp. 110.000,-. Bapak Robbi bekerja selama 1 bulan (25 hari kerja), maka jumlah upah bapak Robbi selama 1 bulan adalah Rp.50.000 x 25 = Rp. 1.250.000,-. Mengacu pada penjelasan diatas (b2), maka bendaharawan berkewajiban memotong PPh pasal 21 sebesar 5% atas jumlah pembayaran dalam jangka waktu satu bulan (jumlah bruto) setelah dikurangi bagian dari penghasilan tersebut yang tidak dikenai pajak (penghasilan tidak kena pajak atau PTKP).
Penghasilan Bruto Bapak Robbi selama 1 bulan Rp. 1.250.000,-
Penghasilan tidak kena pajak (PTKP) Rp. 1.200.000,- _
*(lihat tabel 2, kawin 0 anak)
Penghasilan kena pajak (PKP) Rp. 50.000,-
Pemotongan pajak (5%xRp. 50.000,-) Rp. 2.500,-
Penghasilan bapak Robbi setelah dikurangi PPh pasal 21 adalah Rp. 1.250.000,- dikurangi Rp. 2.500,- = Rp. 1.247.500,-.
Contoh III :
Bapak Jhony sudah menikah dan mempunyai dua orang anak, adalah seorang pekerja bangunan. Ia bekerja membangun laboratorium IPA dalam program BIS Mutu SMAN 1 Sukra. Upah per hari bapak Jhony adalah Rp. 120.000,-. Bapak Jhony bekerja selama 9 hari dalam pembangunan laboratorium IPA tersebut. Pemotongan PPh pasal 21 untuk upah bapak Jhony adalah :
Upah harian bapak Jhony melebihi Rp. 110.000,-. Bapak Jhony bekerja selama 9 hari, maka jumlah upah bapak Jhony selama 1 bulan (9 hari kerja) adalah Rp. 120.000,- x 9 = Rp. 1.080.000,-. Mengacu pada penjelasan diatas (b3), maka bendaharawan berkewajiban memotong PPh pasal 21 sebesar 5% dari jumlah upah harian dalam jangka waktu satu bulan.
Penghasilan Bruto bapak Jhony Rp. 1.080.000,-
selama 1 bulan (bekerja 9 hari)
Pemotongan pajak (5% x Rp. 1.080.000,-) Rp. 54.000,- -
Penghasilan neto bapak Jhony Rp. 1.026.000,-
Contoh IV :
Bapak Basri sudah menikah dan mempunyai empat orang anak, adalah seorang pekerja bangunan. Ia bekerja membangun USB SMAN 6 Bintang Terang. Upah per hari bapak Basri adalah Rp. 120.000,-. Bapak Basri bekerja selama 1 bulan (25 hari kerja). Pemotongan PPh pasal 21 untuk upah bapak Basri adalah :
Upah harian bapak Basri melebihi Rp. 110.000,-. Bapak Basri bekerja selama 1 bulan (bekerja selama 25 hari), maka jumlah penghasilan yang diterima oleh bapak Basri selama 1 bulan adalah : Rp. 120.000,- x 25 = Rp. 3.000.000,-. Mengacu pada penjelasan diatas (b4), maka bendaharawan berkewajiban memotong PPh pasal 21 sebesar 5% atas jumlah pembayaran dalam jangka waktu satu bulan (jumlah bruto) setelah dikurangi bagian dari pembayaran tersebut yang tidak dikenai pajak (penghasilan tidak kena pajak atau PTKP). Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) untuk bapak Basri adalah kawin/3 anak (lihat tabel 2), walaupun bapak Basri mempunyai empat anak. Maksimal tanggungan untuk perhitungan PTKP adalah kawin/3 anak.
Penghasilan Bruto Bapak Basri selama 1 bulan Rp. 3.000.000,-
Penghasilan tidak kena pajak (PTKP) Rp. 1.500.000,- _
*(lihat tabel 2, kawin 3 anak)
Penghasilan kena pajak (PKP) Rp. 1.500.000,-
Pemotongan pajak (5%xRp. 1.500.000,-) Rp. 75.000,-
Penghasilan bapak Basri setelah dikurangi PPh pasal 21 adalah Rp. 3.000.000,- dikurangi Rp. 75.000,- = Rp. 2.925.000,-.
4. Pembayaran honorarium block grant (PPh pasal 21)
Pembayaran honorium kepada PNS dikenakan pajak 15% dari jumlah pembayaran yang diterima, hanya berlaku untuk PNS golongan II/b ke atas. Sedangkan pemotongan PPh pasal 21 kepada tenaga ahli/konsultan perorangan (akuntan, arsitek, pengacara, ahli bangunan, dokter dan sebagainya) dikenakan PPh sebesar 7,5% dari jumlah pembayaran (penghasilan bruto) yang diterima.
Untuk pemotongan PPh pasal 21 kepada penerima honorarium yang meliputi : pengajar, penceramah, moderator, pengelola proyek, peserta sidang/rapat, peserta perlombaan (non PNS) dikenakan tarif pajak sebesar 5% dari jumlah pembayaran (penghasilan bruto) yang diterima.
Contoh I:
Drs. Hartono (PNS) sebagai pengelola proyek pembangunan RKB/USB, menerima honorarium sebesar Rp. 250.000,- Pemotongan PPh pasal 21 oleh bendaharawan adalah 15%xRp.250.000,- = Rp. 37.500,-. Dengan demikian honor yang diterima Drs. Hartono Rp. 250.000,- - Rp. 37.500,- = Rp. 212.500,-
Contoh II:
Dalam rangka pelaksanaan program BOMM, sekolah A mengundang Dr. Rivki (non PNS) sebagai pembicara dalam kegiatan pelatihan internet siswa. Dr. Rivki (non PNS) menerima pembayaran honorarium sebesar Rp. 750.000,-. Pemotongan pajak PPh pasal 21 oleh bendaharawan adalah 5%xRp. 750.000,- = Rp. 37.500,-. Dengan demikian honor yang diterima Dr. Rivki Rp. 750.000,- - Rp. 37.500,- = Rp. 712.500,-
Contoh III:
Ir. Darmawan seorang arsitek penerimaan pembayaran untuk pembuatan gambar bangunan USB sebesar Rp. 5.000.000,-. Yang dipotong/dipungut dan disetor oleh bendarawan block grant ke kas negara adalah 7,5% x Rp. 5.000.000,- = Rp. 375.000,-. Dengan demikian honor yang diterima Ir. Darmawan Rp. 5.000.000,- - Rp. 375.000,- = Rp.4.625.000,-
5. Pengadaan Jasa Akomodasi/Konsumsi dan sewa menyewa
Pengadaan jasa akomodasi dan konsumsi oleh hotel/restoran/ rumah makan non badan usaha hanya dikenakan pajak PPh pasal 22 sebesar 1,5% dari jumlah pembayaran. Jika penyedia jasa berbentuk badan usaha dikenakan tarif pajak PPn 10% dan PPh pasal 22 sebesar 1,5%. Sedangkan kegiatan sewa-menyewa (seperti komputer, ruang sidang dan sebagainya) dikenakan pajak sebesar 6 % dari nilai sewa. Pemungutan dan penyetoran pajak dilakukan oleh bendaharawan blockgrant atau penyedia jasa.
Contoh III:
SMA Negeri Y menyewa ruang sidang untuk pelatihan penyusunan silabus selama 10 hari, biaya sewa per hari Rp. 250.000,-. Biaya pajak yang harus dibayar adalah:
Untuk penyewaan kepada non badan usaha pengenaan pajak yang dipungut adalah:
- Biaya sewa ruangan 10 hari x Rp. 250.000,- = Rp. 2.500.000,-
- PPh pasal 22 yang dipungut 1,5% x 2.500.000,-= Rp 37.500,-
Untuk penyewaan kepada non badan usaha pengenaan pajak yang dipungut adalah:
- Biaya sewa ruangan 10 hari x Rp. 250.000,- = Rp 2.500.000,-
- PPh pasal 22 yang dipungut 1,5% x 2.500.000,-= Rp 37.500,-
- PPn yang dipungut 10% x 2.500.000,- = Rp 250.000,-
6. PPh Pasal 23 atas penghasilan pemberi jasa
Kewajiban perpajakan yang terkait dengan penggunaan dana blockgrant, baik pada Sekolah Negeri dan Sekolah Swasta untuk membayar imbalan jasa perawatan atau pemeliharaan sekolah yang dibayarkan kepada Badan Usaha bukan orang pribadi yang melaksanakan pemeliharaan atau perawatan sekolah.
Tarif pemotongan PPh Pasal 23 untuk pemberi jasa adalah sebesar 15% (adalah merupakan tarif dasar dari PPh 23) x 40% (pengenaan pajak yang berkaitan dengan butir-butir a s.d. d di bawah) atau sebesar 6% dari jumlah imbalan bruto tidak termasuk PPN.
Yang termasuk dalam jasa pemeliharaan atau perawatan sekolah adalah:
a. Jasa instalasi/pemasangan mesin dan jasa instalasi/pemasangan peralatan;
b. Jasa instalasi/pemasangan listrik/telepon/air/gas/TV kabel;
c. Jasa perawatan/pemeliharaan/perbaikan bangunan.
d. Jasa sehubungan dengan software komputer, termasuk perawatan/pemeliharaan dan perbaikan.
Contoh:
Kab/Kota “x” membangun USB SMA Negeri Sukarame. Biaya pemasangan instalasi listrik sebesar Rp. 5.000.000,-. Maka pajak yang harus dipungut bendahara sesuai dengan ketentuan PPh pasal 23 adalah:
- Biaya pemasangan instalasi listrik Rp. 5.000.000,-
- PPh pasal 23 yang dipungut
6 % x Rp. 5.000.000,- Rp 300.000,-
D. Penyetoran Pajak
Bendaharawan block grant kemudian menghitung, memotong dan menyetor pajak untuk setiap bulan dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) ke kantor pos dan giro atau bank persepsi (bank yang menerima penyetoran pajak).
Penyetoran PPn dan PPh (yang dilakukan oleh bendaharawan block grant) paling lambat tanggal 15. Jika transaksi dilakukan di atas tanggal 15, maka penyetoran dilakukan paling lambat pada tanggal 15 bulan berikutnya. Penyetoran dapat dilakukan pada bank persepsi (bank yang menerima penyetoran pajak) dan kantor pos terdekat.
Dalam melakukan pelaporan pajak, bendaharawan mengisi Surat Pemberitahuan (SPT) pajak. Surat Pemberitahuan bisa didapatkan di kantor pelayanan pajak setempat.
Bendaharawan block grant wajib melaporkan penyetoran pajak tersebut ke kantor pelayanan pajak, paling lambat tanggal 20. Apabila penyetoran di atas tanggal 20, maka laporan paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya.
Penyetoran dan pelaporan dalam bentuk rekapitulasi dari semua transaksi yang sudah berjalan.
Ketentuan pajak yang disusun pada pedoman ini, berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang Pajak Pertambahan hasil (PPh) dan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 tentang Pajak Pertambahan nilai (PPn).
E. Bea Materai
Bea materai merupakan Pembaharuan Perpajakan Nasional yang dilaksanakan dalam rangka menegakkan kemandirian dalam membiayai pengeluaran negara dan pembangunan nasional dengan mewujudkan kesertaan dan kegotong-royongan masyarakat dalam membiayai pembangunan nasional.
Tarif bea materai adalah sebesar Rp. 3.000,00 dan Rp. 6.000,00.
Tarif materai Rp. 3.000,00 dikenakan atas dokumen:
1. surat yang memuat jumlah uang lebih dari Rp. 250.000,00 sampai dengan Rp. 1.000.000,00 yaitu:
a. yang menyebutkan penerimaan uang
b. yang menyatakan pembukaan uang atau penyimpanan uang di dalam rekening bank
c. yang berisi pemberitahuan saldo rekening di bank
d. yang berisi pengakuan bahwa hutang uang sebagian atau seluruhnya telah dilunasi
2. Surat-surat berharga seperti wesel, promes dan bernominal lebih dari Rp. 250.000,00 tetapi tidak lebih dari Rp. 1.000.000,00
3. Efek dengan nama dan dalam bentuk apapun yang mempunyai harga nominal lebih dari Rp. 250.000,00 tetapi tidak lebih dari Rp. 1.000.000,00
a. Sekumpulan efek dengan nama dan dalam bentuk apapun yang tercantum dalam surat kolektif yang mempunyai harga nominal sampai dengan Rp. 1.000.000,00
b. Cek dan Bilyet Giro dengan nominal berapapun
Tarif materai Rp. 6.000,00 dikenakan atas dokumen:
1. Surat perjanjian dan surat-surat lainnya yang digunakan sebagai alat pembuktian mengenai perbuatan, pernyataan atau keadaan yang bersifat perdata
2. Akta Notaris termasuk salinannya
3. Akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah
4. Dokumen yang akan digunakan sebagai alat pembuktian dimuka pengadilan
5. Dokumen atau surat yang memuat jumlah uang lebih dari Rp. 1.000.000,00
6. Surat-surat berharga seperti wesel dan promes yang bernominal lebih dari Rp. 1.000.000,00
7. Efek dengan nama dan dalam bentuk apapun yang mempunyai harga nominal lebih dari Rp. 1.000.000,00
F. Sanksi
1. Sanksi Pajak
Sanksi Perpajakan merupakan alat pencegah (preventive) agar wajib pajak tidak melanggar undang-undang atau norma perpajakan. Dalam Undang-undang Perpajakan dikenal 2 (dua) macam sanksi yaitu :
a. Sanksi Administrasi
Sanksi adminitrasi merupakan sanksi yang dikenakan apabila terjadi pelanggaran yang menyangkut kewajiban material maupun formal. Sanksi administrasi terdiri atas tiga (tiga) yaitu berupa :
1) Denda
Wajib pajak yang dikenakan sanksi administrasi berupa denda apabila
• SPT tidak disampaikan atau terlambatdisampaikan untuk :
• Kekurangan pembayaran jumlah pajak yang sebenarnya terutang sebesar 2 (dua) kali jumlah pajak yang kurang bayar.
• Tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong tau dipungut sehingga menimbulkan kerugian pada negara didenda 4 (empat) kali jumlah pajak yang terutang yang tidak atau kurang dibayar.
• Mengajukan permohonan restitusi atau melakukan kompensasi pajak dengan menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak Nomor Pajak Wajib Pajak atau Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak atau menyampaikan Surat Pemberiatahuan dan atau keterangan isinya tidak benar dan tidak lengkap didenda paling tinggi 4 (empat) kali jumlah restitusi yang dimohon dan atau kompensasi yang dilakukan oleh wajib pajak.
• Dengan sengaja memberi keterangan atau bukti, atau membei keterangan atau bukti yang tidak benar didenda paling banyak Rp. 10.000.000 (sepuluh juta rupiah).
• Setiap orang dengan sengaja menghalangi atau mempersulit penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan didenda paling banyak Rp. 10.000.000 (sepuluh juta rupiah).
• Terhadap pengusaha atau Pengusaha Kena Pajak yang tidak melaporkan kegiatan usaha, dan tidak membuat faktur pajak atau membuat faktur pajak tetapi tidak tepat atau tidak mengisi dengan sebenarnya dikenakan denda sebesar 2% (dua persen) dari daasar pengenaan pajak.
Contoh 1
Pada bulan Juni 2004 PT. Trimitra terhutang pajak sebesar Rp. 500.000,00 sudah dibayar tepat waktu, sedangkan SPT-nya baru disampaikan pada tanggal 20 Oktober 2004
Diminta :
Hitunglah sanksi yang harus dibayar PT. Trimitra
Penyelesaian:
Pajak kurang bayar Rp. 0,00
Sanksi denda Rp. 50.000,00
Pajak yang harus dibayar Rp. 50.000,00
Contoh 2
Pada tahun 2003 PT. Trimitra terhutang PPh Rp. 15.000.000,00 dan dibayar tepat waktu Rp. 10.000.000,00. SPT baru disampaikan pada tanggal 50 Juni 2004
Diminta:
Hitunglah pajak yang harus dibayar oleh PT. Trimitra
Penyelesaian :
Pajak yang terhutang Rp. 15.000.000,00
Bayar tepat waktu Rp. 10.000.000,00
Pajak kurang bayar Rp. 5.000.000,00
Sanksi denda (SPT) Rp. 100.000,00
Pajak yang masih harus dibayar Rp. 5.100.000,00
Pejabat yang dikenakan sanksi administrasi berupa denda apabila :
1) Karena kealpaan tidak memenuhi kewajiban merahasiakan segala sesuatu tentang dari wajib pajak didenda paling banyak Rp. 4.000.000 (empat juta rupiah).
2) Karena kesengajaan tidak memenuhi kewajiban merahasiakan segala sesuatu tentang diri wajib pajak didenda paling banyak Rp. 10.000.000 (sepuluh juta rupiah)
2). Bunga
Wajib pajak dikenakan sanksi administrasi berupa bunga apabila :
• Wajib pajak membetulkan sendiri SPT yang mengakibatkan utang pajak menjadi lebih besar dikenakan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan atas jumlah pajak yang kurang dibayar, dihitung sejak saat penyampaian SPT sampai dengan pembayaran karena pembetulan SPT tersebut.
• Pembayaran atau penyetoran pajak dilakukan setelah jatuh tempo pembayaran atau penyetoran pajak dikenakan bunga sebesar 2% (dua persen) sebelan yang dihitung dari jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
• Jumlah kekurangan pajak yang terhutang dalam SPT dikenakan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan, dihitung sejak saat terutangnya pajak sampai dengan diterbitkannya SPT.
• Jangka waktu 10 (sepuluh) tahun lebih telah lewat, SKPKBT tetap dapat diterbitkan ditambah bunga sebesar 48% (empat puluh delapan persen) dari jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar dalam hal wajib pajak dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan.
• Pajak yang terutang menurut SKPKB, SKPKBT, dan tambahan jumlah pajak yang harus dibayar berdasarkan surat keputusan pembetulan, surat keputusan keberatan, atau putusan banding pada saat jatuh tempo pembayaran tidak atau kurang dibayar, maka atas jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar dikenakan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan untuk seluruh masa, yang dihitung dari tanggal jatuh tempo sampai dengan tanggal pembayaran atau tanggal diterbitkan STP, dan bagian dari bulan dihitung 1 (satu) bulan.
• Wajib pajak mengangsur atau menunda pembayaran pajak dikenakan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
• Menunda penyampaian SPT dan ternyata perhitungan sementara pajak yang terutang kurang dari jumlah pajak sebenarnya, maka atas kekurangan tersebut dikenakan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan yang dihitung dari saat berakhirnya kewajiban penyampaian SPT sampai dengan tanggal dibayarnya kekurangan pembayaran tersebut.
Direktur Jenderal Pajak (KPP) akan dikenakan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan dalam hal :
• SKPLB terlambat diterbitkan
• Pengajuan keberatan dan banding diterima sebagian atau seluruhnya
• Terlambat pengembalian kelebihan pembayaran pajak.
Contoh 3
Jika pada contoh 2 diatas pajak kurang bayar dibayar bersamaan dengan penyampaian SPT
Diminta :
Hitunglah pajak yang dibayar oleh PT. Trimitra
Penyelesaian :
Pajak yang terhutang Rp. 15.000.000,00
Bayar tepat waktu Rp. 10.000.000,00
Pajak kurang bayar Rp. 5.000.000,00
Sanksi bunga : 2% x 3 x Rp. 5.000.000,00 Rp. 300.000,00
Sanksi denda Rp. 100.000,00
Pajak yang masih harus dibayar Rp. 5.400.000,00
3). Kenaikan
Wajib pajak dikenakan sanksi administrasi berupa kenaikan apabila :
• Pajak yang kurang dibayar atau timbul sebagai akibat dari pengungkapan ketidakbenaran pengisian SPT dikenakan kenaikan sebesar 50% (lima puluh persen) dari pajak yang kurng dibayar, dan harus dilunasi sendiri oleh wajib pajak sebelum laporan tersendiri disampaikan (PPh Pasal 25)
• Kekurangan pajak yang terutang dalam SKPKBT, ditambah dengan kenaikan sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah kekurangan tersebut (PPh Pasal 21, 22, 23 dan 26)
• 100% (seratus persen) dari PPN dan PPnBM yang tidak atau kurang dibayar
Sanksi berupa kenaikan apabila SPT tidak disampaikan dan setelah ditegur oleh fiskus juga tidak disampaikan oleh wajib pajak dalam batas waktu yang ditentukan dalam surat teguran.
Contoh 4
Pada bulan Juli 2004 PT. Trimitra terhutang PPN sebesar Rp. 100.000.000,00. KPP menerbitkan SKPKB pada tanggal 10 Oktober 2004
Diminta :
Hitunglah pajak yang dibayar oleh PT. Trimitra
Penyelesaian :
Pajak yang terhutang Rp. 100.000.000,00
Pajak yang dibayar Rp. 0,00
Pajak kurang bayar Rp. 100.000.000,00
Sanksi kenaikan 100% x Rp. 100.000.000,00 Rp. 100.000.000,00
Pajak yang masih harus dibayar Rp. 200.000.000,00
Contoh 5
Jika pada contoh 4 diats pajak yang terhutang baru dibayar pada tanggal 9 Oktober 2004
Diminta :
Hitunglah pajak yang dibayar oleh PT. Trimitra
Penyelesaian :
Pajak yang terhutang Rp. 100.000.000,00
Sanksi : 2% x 3 Rp. 10.000.000,00 Rp. 6.000.000,00
Pajak yang harus dibayar Rp. 106.000.000,00
4). Sanksi Pidana
Sanksi pidana yaitu sanksi yang dikenakan apabila terjadi tindak pidana perpajakan yang dilakukan oleh wajib pajak, atau pihak lain yang ditunjuk sebagai wakil atau kuasa wajib pajak. Sanksi pidana dikenakan juga terhadap instansi pajak yang membocorkan rahasia wajib pajak yang diberitahukan kepadanya.
Sanksi pidana terdiri atas :
a) Pidana Kurungan
Setiap orang yang karena kealpaannya :
• Tidak menyampaikan SPT, atau
• Menyampaikan SPT, tetapi isinya tidak benar dan tidak lengkap atau melampirkan keterangan yang isinya tidk benar sehingga dapat merugikan pada pendapatan negara dipidana dengan pidana perpajakan 2005-2006 kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan atau denda paling tinggi 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar.
b). Pidana Penjara
Barang siapa dengan sengaja :
• Tidak mendaftarkan diri atau menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) atau Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak (PPKP) sebagai mana dimaksud dalam pasal 2 atau
• Tidak menyampaikan SPT, atau
• Menyampaikan SPT dan atau keterangan yang isinya tidak benar, atau tidak lengkap, atau
• Menolak untuk dilakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 29 atau
• Memperlihatkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen lain yang palsu atau dipalsukan seolah-olah benar, atau
• Tidak menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan, tidak memperlihatkan atau tidak meminjamkan buku, catatan atau dokumen lainnya, atau
• Tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut, sehingga menimbulkan kerugian pada pendapatan negara, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling tinggi 4 (empat) kali jumlah pajak yang terutang yang tidak atau kurang dibayar
• Pidana sebagaiman dimaksud point 1 sampai dengan 7 diatas dilipatkan 2 (dua) lewat 1 tahun, terhitung sejak selesainya menjalani pidana penjara yang dijatuhkan
- Pejabat instansi pajak yang dikenakan penjara kurungan apabila karena kealpaan tidak memenuhi kewajiban merahasiakan segala sesuatu yang diberitahukan oleh wajib pajak karena jabatannya, dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp. 4.000.000,00 (empat juta rupiah)
- Pejabat instansi pajak yang dikenakan sanksi pidana penjara apabila karena kesengajaan tidak memenuhi kewajibannya atau seseorang yang menyebabkan tidak dipenuhinya kewajiban tenaga ahli yang ditunjuk Dirjen Pajak (Pasal 34) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp. 10.000.000 (sepuluh juta rupiah)
- Setiap orang yang menurut pasal 35 UU Perpajakan Tahun 2000 tentang KUT wajib memberikan keterangan atau bukti yang diminta tetapi dengan sengaja tidak memberi keterangan atau bukti, atau memberikan keterangan atau bukti yang tidak benar, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp. 10.000.000 (sepuluh juta rupiah)
- Penunututan terhadap tindak pidana yang dilakukan pejabat, dilakukan hanya atas pengaduan ari wajib pajak yang kerahasiannya dilarang.
- Tindak pidana perpajakan tidak dapat dituntut setelah lampau sepuluh tahun sejak berakhirnya masa pajak.
Contoh
Pada tahun pajak 2003 PT. Trimitra terhutang pajak Rp. 10.000.000,00. Dari hasil penelitian KPP menyebutkan bahwa PT. Trimitra dengan sengaja tidak membayar pajak yang terhutang.
Diminta :
Hitunglah pajak yang harus dibayar oleh PT. Trimitra
Penyelesaian :
Pajak yang terhutang Rp. 10.000.000,00
Sanksi denda 4 x Rp. 10.000.000,00 Rp. 40.000.000,00
Pajak yang harus dibayar Rp. 50.000.000,00
Dari urai di atas dapat disimpulkan bahwa sanksi pidana terdiri atas sanksi pidana khusus (murni) yaitu pidana penjara dan kurungan dan sanksi pidana tambahan yaitu pidana berupa denda. Dengan demikian sanksi dalam perpajakan merupakan perpaduan antara sanksi administrasi dan sanksi pidana, artinya dapat dikenakan sanksi administrasi saja atau sanksi pidana saja atau kedua-duanya.
2. Sanksi Materai
Sanksi yang terutang Bea Materai adalah :
a. Sanksi Administrasi
Apabila dokumen tidak atau kurang dilunasi Bea Materai sebagaimana mestinya, dikenakan denda administrasi sebesar 200% dari Bea Materai yang tidak atau kurang dibayar, dengan cara pemeteraian kemudian.
Cara pelunasan dengan cara pemeteraian kemudian yaitu :
Dokumen yang dibuat di luar negeri pada saat digunakan di Indonesia harus telah dilunasi Bea Materai. Pemeteraian kemudian atas dokumen tersebut dilakukan oleh pejabat pos menurut tata cara yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan. Hubungan antara pemeteraian kemudian dengan denda administrasi adalah pemeteraian kemudian tanpa denda dan dengan denda 200 %.
Pemeteraian kemudian tanpa denda meliputi :
1) Dokumen luar negeri yang belum digunakan
2) Surat-surat biasa dan surat kerumah tanggaan, sebagai alat bukti di pengadilan
3) Dokumen yang semula tidak dikenakan Bea Materai berdasarkan tujuannya atau dipergunakan oleh orang lain (sebagai alat bukti di pengadilan).
Pemeteraian kemudian dengan denda 200% meliputi :
1) Semua dokumen yang semestinya dikenakan Bea Materai tetapi tidak atau kurang dibayar Bea Materainya.
2) Dokumen luar negeri sudah dipakai sebagai dokumen di Indonesia baru dimateraikan.
Contoh :
1) Dokumen yang seharusnya dikenakan Bea Materai sebesar Rp. 3000 tetapi tidak diberi materai
Bea Materai yang tidak dibayar Rp. 3.000,00
Denda administrasi (200%) Rp. 6.000,00
Jumlah pemeteraian kemudian Rp. 9.000,00
2) Dokumen yang seharusnya dikenakan Bea Materai sebesar Rp. 6.000 tetapi tidak diberi materai
Bea Materai yang tidak dibayar Rp. 3.000,00
Denda administrasi (200%) Rp. 12.000,00
Jumlah pemeteraian kemudian Rp. 18.000,00
Sanksi administrasi juga dikenakan terhadap :
1) Pejabat pemerintah, hakim, panitera, jurusita, notaris dan pejabat umum lainnya, masing-masing dalam tugas dan jabatannya. Mereka tidak dibenarkan:
• Menerima, mempetimbangkan atau menyimpan dokumen yang Bea Materainya tidak atau kurang dibayar.
• Meletakan dokumen yang Bea Materainya tidak atau kurang dibayar sesuai dengan tarifnya pada dokumen lain yang berkaitan.
• Membuat salinan, tembusan, rangkapan atau petikan dari dokumen yang Bea Materainya tidak atau kurang dibayar.
• Memberikan kekurangan atau catatan pada dokumen yang tidak atau kurang dibayar sesuai dengan tarif Bea Materai
2) Pejabat pemerintah/pegawai negeri yang karena jabatannya melanggar ketentuan Bea Materai dikenakan sanksi administrasi antara lain :
• Dengan teguran, peringatan
• Tunda kenaikan gaji/pangkat
• Diberhentikan
b. Sanksi Pidana
Sanksi pidana dikenakan terhadap :
1) Pemalsuan Meterai Tempel dan Kertas Materai dan tanda tangan untuk :
• Mensahkan materai, menyimpan, menjual, menawarkan, menyerahkan, menggunakan atau menyediakan untuk dijual.
• Menyimpan semua bahan atau perkakas yang diketahui untuk meniru dan memalsukan benda materai.
Sanksi terhadap pemalsuan tersebut dapat berupa penjara atau kurungan berdasarkan keputusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum.
2) Dengan sengaja menggunakan cara lain untuk pelunasan Bea Materai, tanpa seijin Menteri Keuangan, dipidana dengan penjara selama-lamanya 7 (tujuh) tahun.
c. Penangung Jawab Sanksi
1) Untuk sanksi administrasi adalah pemegang dokumen
2) Untuk sanksi pidana adalah sesuai Keputusan Pengadilan
A. Pengertian dan Fungsi Pajak
Pajak dapat diartikan sebagai iuran wajib dari rakyat kepada kas negara sebagai wujud peran serta dalam pembangunan, yang pengenaannya berdasarkan undang-undang dan tidak mendapat imbalan secara langsung, serta dapat dipaksakan kepada mereka yang melanggarnya.
Pajak berfungsi sebagai alat untuk memasukkan uang ke kas negara yang kemudian, akan dialokasikan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran negara. Pajak yang dihimpun oleh negara pada gilirannya akan digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran rutin negara.
B. Pemungut/Pemotong PPn, Pajak Penghasilan Pasal 21, Pasal 22 dan Pasal 23
Kewajiban perpajakan yang terkait dengan penggunaan dana blockgrant adalah:
1. Pemotongan PPh Pasal 21 atas penghasilan honorarium atau gaji;
2. Pemungutan PPh Pasal 22 atas penghasilan penjualan barang;
3. Pemotongan PPh Pasal 23 atas penghasilan pemberi jasa;
4. Pemungutan PPN atas pembelian Barang Kena Pajak dan Perolehan Jasa Kena Pajak.
Pemungut pajak adalah pejabat yang ditunjuk oleh menteri/ketua lembaga sebagai bendaharawan/bendaharawan proyek dan bendaharawan pemerintah daerah.
Dalam hal dana blockgrant yang diberikan kepada SMA Negeri, maka penanggung jawab atau bendaharawan merupakan Pemungut/Pemotong Pajak.
Dalam hal dana blockgrant yang diberikan kepada SMA Swasta, maka penanggung jawab atau bendaharawan bukan merupakan Pemungut/Pemotong Pajak.
Oleh karena itu penanggung jawab atau bendaharawan pada sekolah swasta penerima dana blockgrant harus terdaftar sebagai wajib pajak dan memiliki NPWP atau untuk memudahkan administrasi dapat menggunakan NPWP sekolah atau yayasan sekolah.
C. Ketentuan Perpajakan Blockgrant
Penyaluran dana block grant melalui KPPN dari pemberi bantuan kepada penerima bantuan tidak dipungut pajak sesuai Surat Edaran Dirjen Anggaran No SE-181/A/2003 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pencairan dan Penyaluran Subsidi/Bantuan/Block Grant untuk Peningkatan Mutu SMU Provinsi. Sehingga jumlah dana block grant yang diterima sama besarnya dengan nilai yang tercantum pada Surat Perjanjian Penggunaan Dana (SP2D).
Kewajiban membayar pajak mulai berlaku pada saat pengelola block grant melakukan transaksi pembayaran dengan menggunakan dana block grant, seperti untuk pembelian barang dan jasa dan pembayaran berbagai macam honoraium/upah/gaji/lembur dan lain sebagainya dengan ketentuan sebagai berikut.
1. Pembelian Barang/jasa (PPn dan PPh Pasal 22)
Setiap traksaksi pembelian barang/jasa yang termasuk kategori Barang Kena Pajak (BKP) dan Jasa Kena Pajak (JKP) di atas Rp. 1.000.000 (satu juta rupiah) dan bukan merupakan jumlah yang dipecah-pecah dengan menggunakan dana APBN dan APBD (termasuk dana block grant) dikenakan :
a. Pajak Pertambahan Nilai (PPn) sebesar 10% (sepuluh persen) dari harga barang;
b. Pajak Pertambahan Hasil/PPh pasal 22 sebesar 1,5% (satu setengah persen) dari harga pembelian (harga sebelum dikenakan PPn).
Untuk pembelian barang kena pajak dan jasa kena pajak dengan jumlah transaksi tidak melebihi Rp. 1.000.000 (satu juta rupiah) dan bukan merupakan jumlah yang dipecah-pecah dengan menggunakan dana APBN dan APBD, maka atas pembelian tersebut tidak dilakukan pemungutan PPh pasal 22.
Perlakuan Pajak Pertambahan Nilai (PPn) dan Pajak Pertambahan Hasil (PPh) pasal 22 berbeda antara sekolah negeri dan sekolah bukan negeri. Bendaharawan pada sekolah negeri, untuk setiap transaksi pembelian barang/jasa yang termasuk kategori Barang Kena Pajak (BKP) dan Jasa Kena Pajak (JKP) di atas Rp. 1.000.000 (satu juta rupiah), dan bukan merupakan jumlah yang dipecah-pecah, dengan menggunakan dana APBN dan APBD (termasuk dana block grant) berkewajiban untuk memotong Pajak Pertambahan Nilai (PPn) sebesar 10% (sepuluh persen) dari harga barang dan Pajak Pertambahan Hasil/PPh pasal 22 sebesar 1,5% (satu setengah persen) dari harga pembelian (harga sebelum dikenakan PPn).
Bendaharawan pada sekolah swasta, berkewajiban untuk memotong PPN sebesar 10% (sepuluh persen) dari harga barang, namun tidak mempunyai kewajiban untuk memotong PPh pasal 22 sebesar 1,5% (satu setengah persen), walaupun nilai transaksi pembelian barang kena pajak dan jasa kena pajak melebihi Rp. 1.000.000 (satu juta rupiah).
Pembelian barang/jasa secara langsung (tidak kontrak) ke penyedia/penjual barang dan jasa berstatus badan usaha (PT/CV/UD/Koperasi dan sebagainya) dan memiliki NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak), biasanya pembeli sudah dibebankan/dipungut pajak PPn sebesar 10% dari harga oleh penjual.
Bukti pemungutan PPn tercantum pada faktur pajak baik dalam bentuk standar maupun sederhana, seperti : bon kontan/faktur penjualan/kwitansi/kas register dan bukti pembayaran lainnya yang sejenis.
Sedangkan kewajiban pajak PPh pasal 22 dipungut dan disetor oleh bendaharawan block grant pada sekolah negeri sebesar 1,5% dari harga barang sebelum Pajak Pertambahan Nilai, untuk sekolah bukan negeri bendaharawan tidak berkewajiban untuk memotong PPh pasal 22.
Contoh:
SMA ”X” membeli 50 sak semen @ Rp. 20.000,- dan pasir seharga Rp. 1.000.000 pada Toko “Y”, maka dasar perhitungan PPn dan PPh pasal 22 adalah sebagai berikut :
Harga 50 sak semen = 50 x Rp. 20.000,- Rp. 1.000.000,-
Harga pasir Rp. 1.000.000,-
Jumlah Pembelian Rp. 2.000.000,-
PPn 10 % = Rp. 10% x Rp. 2.000.000,- Rp. 200.000,-
Rp. 2.200.000,-
PPh pasal 22 = 1,5% x Rp. 2.000.000,- Rp. 30.000,-
Harga 50 sak semen termasuk PPn + PPh Ps 22 Rp 2.230.000,-
Pada contoh di atas dapat dijelaskan bahwa:
a. Bagi sekolah negeri:
PPn dipungut dan disetor oleh penyedia barang/jasa. Sedangkan pajak PPh pasal 22 dipungut dan disetor oleh bendaharawan block grant sekolah negeri. Jika penjual tidak memotong PPn, maka bendarawan block grant berkewajiban memotong dan menyetor PPn dan PPh sekaligus.
b. Bagi sekolah swasta:
PPn dipungut dan disetor oleh penyedia barang/jasa. Sedangkan pajak PPh pasal 22 dipungut dan disetor oleh bendaharawan block grant sekolah swasta yang telah mendaftar sebagai wajib pajak dan memiliki NPWP atau melalui bendahara yayasan. Jika penjual tidak memotong PPn, maka bendarawan block grant berkewajiban memotong dan menyetor PPn dan PPh sekaligus.
Tidak dibenarkan melakukan pemecahan transaksi pada hari dan penjual yang sama dengan maksud untuk menghindar dari kewajiban membayar pajak.
2. Pengadaan buku pelajaran pokok dan buku penunjang untuk perpustakaan
Pada pelaksanaan program blockgrant untuk pembelian buku pelajaran umum, kitab suci, dan buku pelajaran agama tidak terkena PPn akan tetapi tetap terkena Pajak Penghasilan (PPh) pasal 22 sebesar 1,5% dari nilai pembelian di atas Rp. 1.000.000,-
Dalam hal ini, nilai pembelian tersebut tidak melebihi Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah) dan bukan merupakan jumlah yang dipecah-pecah, maka atas pengadaan atau pembelian tersebut tidak dilakukan pemungutan PPh pasal 22.
Contoh:
SMA Negeri X membeli buku pelajaran 100 eksemplar @ Rp. 20.000,- pada Toko Y, PPh pasal 22 adalah sebagai berikut :
Harga buku 100 eks. = 100 x Rp. 20.000,- Rp. 2.000.000,-
PPh pasal 22 = 1,5% x Rp. 2.000.000,- Rp. 30.000,-
Harga 100 eks buku (termasuk PPh) Rp 2.030.000,-
3. Pembayaran upah/gaji/lembur block grant (PPh pasal 21)
Pada pelaksanaan program blockgrant dimungkinkan terjadi aktifitas pembayaran upah/gaji/lembur yang akan terkena Pajak Penghasilan (PPh) pasal 21.
Bendaharawan blockgrant yang membayar upah kepada perorangan/pekerja (pegawai tidak tetap dan bukan tenaga ahli) terkait dengan pelaksanaan program blockgrant berkewajiban memotong Pajak Penghasilan (PPh) pasal 21, dengan ketentuan sebagai berikut :
a. Apabila upah harian atau rata-rata upah harian tidak melebihi Rp. 110.000,- (seratus sepuluh ribu rupiah) dan jumlah seluruh upah yang diterima dalam jangka waktu satu bulan belum melebihi Rp. 1.100.000,- (satu juta seratus ribu rupiah), maka bendaharawan tidak berkewajiban memotong PPh pasal 21.
b. Apabila upah harian atau rata-rata upah harian tidak melebihi Rp. 110.000,- (seratus sepuluh ribu rupiah), namun jumlah seluruh upah yang diterima dalam jangka waktu satu bulan telah melebihi Rp. 1.100.000,- (satu juta seratus ribu rupiah), maka bendaharawan berkewajiban memotong PPh pasal 21 sebesar 5% (non PNS) atas jumlah penghasilan dalam jangka waktu satu bulan (jumlah bruto) setelah dikurangi bagian dari penghasilan tersebut yang tidak dikenai pajak (penghasilan tidak kena pajak atau PTKP).
c. Apabila upah harian atau rata-rata upah harian melebihi Rp. 110.000,- (seratus sepuluh ribu rupiah), dan jumlah seluruh upah yang diterima dalam jangka waktu 1 (satu) bulan belum melebihi Rp. 1.100.000,- (satu juta seratus ribu rupiah), maka bendaharawan berkewajiban memotong PPh pasal 21 sebesar 5% dari jumlah upah harian dalam jangka waktu satu bulan.
d. Apabila upah harian atau rata-rata upah harian melebihi Rp. 110.000,- (seratus sepuluh ribu rupiah) dan jumlah seluruh upah yang diterima dalam jangka waktu 1 (satu) bulan melebihi Rp. 1.100.000,- (satu juta seratus ribu rupiah), maka bendaharawan berkewajiban memotong PPh pasal 21 sebesar 5% atas jumlah penghasilan dalam jangka waktu satu bulan (jumlah bruto) setelah dikurangi bagian dari penghasilan tersebut yang tidak dikenai pajak (penghasilan tidak kena pajak atau PTKP).
Penghasilan tidak kena pajak (PTKP) adalah bagian dari penghasilan/pembayaran upah yang tidak dipotong pajak. Pemotongan pajak dilakukan dengan mengkalikan tarif pajak dengan penghasilan kena pajak. Untuk menentukan besarnya penghasilan kena pajak (PKP), jumlah penghasilan bruto (pembayaran yang diterima) dikurangkan dengan penghasilan kena pajak.
Besar penghasilan tidak kena pajak (PTKP) adalah sebagai berikut :
Tabel 1
Besar Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)
PTKP Setahun PTKP Sebulan
a Untuk diri pekerja/ pegawai Rp. 13.200.000,- Rp. 1.100.000,-
b Tambahan untuk pekerja/ pegawai kawin Rp. 1.200.000,- Rp. 100.000,-
c Tambahan untuk setiap anak/ anak angkat yang menjadi tanggungan. Maksimal 3 (tiga) orang Rp. 1.200.000,- Rp. 100,000,-
Besar penghasilan tidak kena pajak untuk masing-masing status :
Tabel 2
Besar Penghasilan Tidak Kena Pajak Untuk Masing-masing Status
Status PTKP Setahun PTKP Sebulan
Tidak kawin/0 anak Rp. 13.200.000,- Rp. 1.100.000,-
Kawin/0 anak Rp. 14.400.000,- Rp. 1.200.000,-
Kawin/1 anak Rp. 15.600.000,- Rp. 1.300.000,-
Kawin/2 anak Rp. 16.800.000,- Rp. 1.400.000,-
Kawin/3 anak Rp. 18.000.000,- Rp. 1.500.000,-
* maksimal tanggungan untuk perhitungan PTKP adalah kawin/3 anak
Contoh I :
Bapak Karim sudah menikah dan mempunyai seorang anak adalah seorang tenaga bangunan bekerja dalam pembangunan RKB SMAN 1 Sindanglaya. Upah per hari yang ia terima sebesar Rp. 40.000,-. Bapak Karim bekerja selama 1 bulan (25 hari kerja) dalam pembangunan RKB SMAN 1 Sindanglaya. Pemotongan PPh pasal 21 untuk upah bapak Karim, adalah:
Upah per hari bapak karim atau rata-rata upah perhari bapak karim adalah Rp. 40.000,-. Sementara jumlah upah bapak Karim selama 1 bulan bekerja selama 25 hari adalah Rp. 40.000,- x 25 = Rp. 1.000.000,-Mengacu pada penjelasan diatas (b1) maka bendaharawan tidak diwajibkan memotong pajak dalam pembayaran upah bapak Karim.
Contoh II :
Bapak Robbi sudah menikah dan tidak punya anak adalah seorang pekerja bangunan. Ia bekerja dalam pembangunan USB SMAN 1 Ciseeng. Upah per hari bapak Robbi adalah Rp. 50.000,-, bapak Robbi bekerja selama 1 bulan (25 hari kerja). Pemotongan PPh pasal 21 untuk upah bapak Robbi adalah :
Upah harian bapak Robbi Rp. 50.000,- tidak melebihi Rp. 110.000,-. Bapak Robbi bekerja selama 1 bulan (25 hari kerja), maka jumlah upah bapak Robbi selama 1 bulan adalah Rp.50.000 x 25 = Rp. 1.250.000,-. Mengacu pada penjelasan diatas (b2), maka bendaharawan berkewajiban memotong PPh pasal 21 sebesar 5% atas jumlah pembayaran dalam jangka waktu satu bulan (jumlah bruto) setelah dikurangi bagian dari penghasilan tersebut yang tidak dikenai pajak (penghasilan tidak kena pajak atau PTKP).
Penghasilan Bruto Bapak Robbi selama 1 bulan Rp. 1.250.000,-
Penghasilan tidak kena pajak (PTKP) Rp. 1.200.000,- _
*(lihat tabel 2, kawin 0 anak)
Penghasilan kena pajak (PKP) Rp. 50.000,-
Pemotongan pajak (5%xRp. 50.000,-) Rp. 2.500,-
Penghasilan bapak Robbi setelah dikurangi PPh pasal 21 adalah Rp. 1.250.000,- dikurangi Rp. 2.500,- = Rp. 1.247.500,-.
Contoh III :
Bapak Jhony sudah menikah dan mempunyai dua orang anak, adalah seorang pekerja bangunan. Ia bekerja membangun laboratorium IPA dalam program BIS Mutu SMAN 1 Sukra. Upah per hari bapak Jhony adalah Rp. 120.000,-. Bapak Jhony bekerja selama 9 hari dalam pembangunan laboratorium IPA tersebut. Pemotongan PPh pasal 21 untuk upah bapak Jhony adalah :
Upah harian bapak Jhony melebihi Rp. 110.000,-. Bapak Jhony bekerja selama 9 hari, maka jumlah upah bapak Jhony selama 1 bulan (9 hari kerja) adalah Rp. 120.000,- x 9 = Rp. 1.080.000,-. Mengacu pada penjelasan diatas (b3), maka bendaharawan berkewajiban memotong PPh pasal 21 sebesar 5% dari jumlah upah harian dalam jangka waktu satu bulan.
Penghasilan Bruto bapak Jhony Rp. 1.080.000,-
selama 1 bulan (bekerja 9 hari)
Pemotongan pajak (5% x Rp. 1.080.000,-) Rp. 54.000,- -
Penghasilan neto bapak Jhony Rp. 1.026.000,-
Contoh IV :
Bapak Basri sudah menikah dan mempunyai empat orang anak, adalah seorang pekerja bangunan. Ia bekerja membangun USB SMAN 6 Bintang Terang. Upah per hari bapak Basri adalah Rp. 120.000,-. Bapak Basri bekerja selama 1 bulan (25 hari kerja). Pemotongan PPh pasal 21 untuk upah bapak Basri adalah :
Upah harian bapak Basri melebihi Rp. 110.000,-. Bapak Basri bekerja selama 1 bulan (bekerja selama 25 hari), maka jumlah penghasilan yang diterima oleh bapak Basri selama 1 bulan adalah : Rp. 120.000,- x 25 = Rp. 3.000.000,-. Mengacu pada penjelasan diatas (b4), maka bendaharawan berkewajiban memotong PPh pasal 21 sebesar 5% atas jumlah pembayaran dalam jangka waktu satu bulan (jumlah bruto) setelah dikurangi bagian dari pembayaran tersebut yang tidak dikenai pajak (penghasilan tidak kena pajak atau PTKP). Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) untuk bapak Basri adalah kawin/3 anak (lihat tabel 2), walaupun bapak Basri mempunyai empat anak. Maksimal tanggungan untuk perhitungan PTKP adalah kawin/3 anak.
Penghasilan Bruto Bapak Basri selama 1 bulan Rp. 3.000.000,-
Penghasilan tidak kena pajak (PTKP) Rp. 1.500.000,- _
*(lihat tabel 2, kawin 3 anak)
Penghasilan kena pajak (PKP) Rp. 1.500.000,-
Pemotongan pajak (5%xRp. 1.500.000,-) Rp. 75.000,-
Penghasilan bapak Basri setelah dikurangi PPh pasal 21 adalah Rp. 3.000.000,- dikurangi Rp. 75.000,- = Rp. 2.925.000,-.
4. Pembayaran honorarium block grant (PPh pasal 21)
Pembayaran honorium kepada PNS dikenakan pajak 15% dari jumlah pembayaran yang diterima, hanya berlaku untuk PNS golongan II/b ke atas. Sedangkan pemotongan PPh pasal 21 kepada tenaga ahli/konsultan perorangan (akuntan, arsitek, pengacara, ahli bangunan, dokter dan sebagainya) dikenakan PPh sebesar 7,5% dari jumlah pembayaran (penghasilan bruto) yang diterima.
Untuk pemotongan PPh pasal 21 kepada penerima honorarium yang meliputi : pengajar, penceramah, moderator, pengelola proyek, peserta sidang/rapat, peserta perlombaan (non PNS) dikenakan tarif pajak sebesar 5% dari jumlah pembayaran (penghasilan bruto) yang diterima.
Contoh I:
Drs. Hartono (PNS) sebagai pengelola proyek pembangunan RKB/USB, menerima honorarium sebesar Rp. 250.000,- Pemotongan PPh pasal 21 oleh bendaharawan adalah 15%xRp.250.000,- = Rp. 37.500,-. Dengan demikian honor yang diterima Drs. Hartono Rp. 250.000,- - Rp. 37.500,- = Rp. 212.500,-
Contoh II:
Dalam rangka pelaksanaan program BOMM, sekolah A mengundang Dr. Rivki (non PNS) sebagai pembicara dalam kegiatan pelatihan internet siswa. Dr. Rivki (non PNS) menerima pembayaran honorarium sebesar Rp. 750.000,-. Pemotongan pajak PPh pasal 21 oleh bendaharawan adalah 5%xRp. 750.000,- = Rp. 37.500,-. Dengan demikian honor yang diterima Dr. Rivki Rp. 750.000,- - Rp. 37.500,- = Rp. 712.500,-
Contoh III:
Ir. Darmawan seorang arsitek penerimaan pembayaran untuk pembuatan gambar bangunan USB sebesar Rp. 5.000.000,-. Yang dipotong/dipungut dan disetor oleh bendarawan block grant ke kas negara adalah 7,5% x Rp. 5.000.000,- = Rp. 375.000,-. Dengan demikian honor yang diterima Ir. Darmawan Rp. 5.000.000,- - Rp. 375.000,- = Rp.4.625.000,-
5. Pengadaan Jasa Akomodasi/Konsumsi dan sewa menyewa
Pengadaan jasa akomodasi dan konsumsi oleh hotel/restoran/ rumah makan non badan usaha hanya dikenakan pajak PPh pasal 22 sebesar 1,5% dari jumlah pembayaran. Jika penyedia jasa berbentuk badan usaha dikenakan tarif pajak PPn 10% dan PPh pasal 22 sebesar 1,5%. Sedangkan kegiatan sewa-menyewa (seperti komputer, ruang sidang dan sebagainya) dikenakan pajak sebesar 6 % dari nilai sewa. Pemungutan dan penyetoran pajak dilakukan oleh bendaharawan blockgrant atau penyedia jasa.
Contoh III:
SMA Negeri Y menyewa ruang sidang untuk pelatihan penyusunan silabus selama 10 hari, biaya sewa per hari Rp. 250.000,-. Biaya pajak yang harus dibayar adalah:
Untuk penyewaan kepada non badan usaha pengenaan pajak yang dipungut adalah:
- Biaya sewa ruangan 10 hari x Rp. 250.000,- = Rp. 2.500.000,-
- PPh pasal 22 yang dipungut 1,5% x 2.500.000,-= Rp 37.500,-
Untuk penyewaan kepada non badan usaha pengenaan pajak yang dipungut adalah:
- Biaya sewa ruangan 10 hari x Rp. 250.000,- = Rp 2.500.000,-
- PPh pasal 22 yang dipungut 1,5% x 2.500.000,-= Rp 37.500,-
- PPn yang dipungut 10% x 2.500.000,- = Rp 250.000,-
6. PPh Pasal 23 atas penghasilan pemberi jasa
Kewajiban perpajakan yang terkait dengan penggunaan dana blockgrant, baik pada Sekolah Negeri dan Sekolah Swasta untuk membayar imbalan jasa perawatan atau pemeliharaan sekolah yang dibayarkan kepada Badan Usaha bukan orang pribadi yang melaksanakan pemeliharaan atau perawatan sekolah.
Tarif pemotongan PPh Pasal 23 untuk pemberi jasa adalah sebesar 15% (adalah merupakan tarif dasar dari PPh 23) x 40% (pengenaan pajak yang berkaitan dengan butir-butir a s.d. d di bawah) atau sebesar 6% dari jumlah imbalan bruto tidak termasuk PPN.
Yang termasuk dalam jasa pemeliharaan atau perawatan sekolah adalah:
a. Jasa instalasi/pemasangan mesin dan jasa instalasi/pemasangan peralatan;
b. Jasa instalasi/pemasangan listrik/telepon/air/gas/TV kabel;
c. Jasa perawatan/pemeliharaan/perbaikan bangunan.
d. Jasa sehubungan dengan software komputer, termasuk perawatan/pemeliharaan dan perbaikan.
Contoh:
Kab/Kota “x” membangun USB SMA Negeri Sukarame. Biaya pemasangan instalasi listrik sebesar Rp. 5.000.000,-. Maka pajak yang harus dipungut bendahara sesuai dengan ketentuan PPh pasal 23 adalah:
- Biaya pemasangan instalasi listrik Rp. 5.000.000,-
- PPh pasal 23 yang dipungut
6 % x Rp. 5.000.000,- Rp 300.000,-
D. Penyetoran Pajak
Bendaharawan block grant kemudian menghitung, memotong dan menyetor pajak untuk setiap bulan dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) ke kantor pos dan giro atau bank persepsi (bank yang menerima penyetoran pajak).
Penyetoran PPn dan PPh (yang dilakukan oleh bendaharawan block grant) paling lambat tanggal 15. Jika transaksi dilakukan di atas tanggal 15, maka penyetoran dilakukan paling lambat pada tanggal 15 bulan berikutnya. Penyetoran dapat dilakukan pada bank persepsi (bank yang menerima penyetoran pajak) dan kantor pos terdekat.
Dalam melakukan pelaporan pajak, bendaharawan mengisi Surat Pemberitahuan (SPT) pajak. Surat Pemberitahuan bisa didapatkan di kantor pelayanan pajak setempat.
Bendaharawan block grant wajib melaporkan penyetoran pajak tersebut ke kantor pelayanan pajak, paling lambat tanggal 20. Apabila penyetoran di atas tanggal 20, maka laporan paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya.
Penyetoran dan pelaporan dalam bentuk rekapitulasi dari semua transaksi yang sudah berjalan.
Ketentuan pajak yang disusun pada pedoman ini, berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang Pajak Pertambahan hasil (PPh) dan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 tentang Pajak Pertambahan nilai (PPn).
E. Bea Materai
Bea materai merupakan Pembaharuan Perpajakan Nasional yang dilaksanakan dalam rangka menegakkan kemandirian dalam membiayai pengeluaran negara dan pembangunan nasional dengan mewujudkan kesertaan dan kegotong-royongan masyarakat dalam membiayai pembangunan nasional.
Tarif bea materai adalah sebesar Rp. 3.000,00 dan Rp. 6.000,00.
Tarif materai Rp. 3.000,00 dikenakan atas dokumen:
1. surat yang memuat jumlah uang lebih dari Rp. 250.000,00 sampai dengan Rp. 1.000.000,00 yaitu:
a. yang menyebutkan penerimaan uang
b. yang menyatakan pembukaan uang atau penyimpanan uang di dalam rekening bank
c. yang berisi pemberitahuan saldo rekening di bank
d. yang berisi pengakuan bahwa hutang uang sebagian atau seluruhnya telah dilunasi
2. Surat-surat berharga seperti wesel, promes dan bernominal lebih dari Rp. 250.000,00 tetapi tidak lebih dari Rp. 1.000.000,00
3. Efek dengan nama dan dalam bentuk apapun yang mempunyai harga nominal lebih dari Rp. 250.000,00 tetapi tidak lebih dari Rp. 1.000.000,00
a. Sekumpulan efek dengan nama dan dalam bentuk apapun yang tercantum dalam surat kolektif yang mempunyai harga nominal sampai dengan Rp. 1.000.000,00
b. Cek dan Bilyet Giro dengan nominal berapapun
Tarif materai Rp. 6.000,00 dikenakan atas dokumen:
1. Surat perjanjian dan surat-surat lainnya yang digunakan sebagai alat pembuktian mengenai perbuatan, pernyataan atau keadaan yang bersifat perdata
2. Akta Notaris termasuk salinannya
3. Akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah
4. Dokumen yang akan digunakan sebagai alat pembuktian dimuka pengadilan
5. Dokumen atau surat yang memuat jumlah uang lebih dari Rp. 1.000.000,00
6. Surat-surat berharga seperti wesel dan promes yang bernominal lebih dari Rp. 1.000.000,00
7. Efek dengan nama dan dalam bentuk apapun yang mempunyai harga nominal lebih dari Rp. 1.000.000,00
F. Sanksi
1. Sanksi Pajak
Sanksi Perpajakan merupakan alat pencegah (preventive) agar wajib pajak tidak melanggar undang-undang atau norma perpajakan. Dalam Undang-undang Perpajakan dikenal 2 (dua) macam sanksi yaitu :
a. Sanksi Administrasi
Sanksi adminitrasi merupakan sanksi yang dikenakan apabila terjadi pelanggaran yang menyangkut kewajiban material maupun formal. Sanksi administrasi terdiri atas tiga (tiga) yaitu berupa :
1) Denda
Wajib pajak yang dikenakan sanksi administrasi berupa denda apabila
• SPT tidak disampaikan atau terlambatdisampaikan untuk :
• Kekurangan pembayaran jumlah pajak yang sebenarnya terutang sebesar 2 (dua) kali jumlah pajak yang kurang bayar.
• Tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong tau dipungut sehingga menimbulkan kerugian pada negara didenda 4 (empat) kali jumlah pajak yang terutang yang tidak atau kurang dibayar.
• Mengajukan permohonan restitusi atau melakukan kompensasi pajak dengan menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak Nomor Pajak Wajib Pajak atau Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak atau menyampaikan Surat Pemberiatahuan dan atau keterangan isinya tidak benar dan tidak lengkap didenda paling tinggi 4 (empat) kali jumlah restitusi yang dimohon dan atau kompensasi yang dilakukan oleh wajib pajak.
• Dengan sengaja memberi keterangan atau bukti, atau membei keterangan atau bukti yang tidak benar didenda paling banyak Rp. 10.000.000 (sepuluh juta rupiah).
• Setiap orang dengan sengaja menghalangi atau mempersulit penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan didenda paling banyak Rp. 10.000.000 (sepuluh juta rupiah).
• Terhadap pengusaha atau Pengusaha Kena Pajak yang tidak melaporkan kegiatan usaha, dan tidak membuat faktur pajak atau membuat faktur pajak tetapi tidak tepat atau tidak mengisi dengan sebenarnya dikenakan denda sebesar 2% (dua persen) dari daasar pengenaan pajak.
Contoh 1
Pada bulan Juni 2004 PT. Trimitra terhutang pajak sebesar Rp. 500.000,00 sudah dibayar tepat waktu, sedangkan SPT-nya baru disampaikan pada tanggal 20 Oktober 2004
Diminta :
Hitunglah sanksi yang harus dibayar PT. Trimitra
Penyelesaian:
Pajak kurang bayar Rp. 0,00
Sanksi denda Rp. 50.000,00
Pajak yang harus dibayar Rp. 50.000,00
Contoh 2
Pada tahun 2003 PT. Trimitra terhutang PPh Rp. 15.000.000,00 dan dibayar tepat waktu Rp. 10.000.000,00. SPT baru disampaikan pada tanggal 50 Juni 2004
Diminta:
Hitunglah pajak yang harus dibayar oleh PT. Trimitra
Penyelesaian :
Pajak yang terhutang Rp. 15.000.000,00
Bayar tepat waktu Rp. 10.000.000,00
Pajak kurang bayar Rp. 5.000.000,00
Sanksi denda (SPT) Rp. 100.000,00
Pajak yang masih harus dibayar Rp. 5.100.000,00
Pejabat yang dikenakan sanksi administrasi berupa denda apabila :
1) Karena kealpaan tidak memenuhi kewajiban merahasiakan segala sesuatu tentang dari wajib pajak didenda paling banyak Rp. 4.000.000 (empat juta rupiah).
2) Karena kesengajaan tidak memenuhi kewajiban merahasiakan segala sesuatu tentang diri wajib pajak didenda paling banyak Rp. 10.000.000 (sepuluh juta rupiah)
2). Bunga
Wajib pajak dikenakan sanksi administrasi berupa bunga apabila :
• Wajib pajak membetulkan sendiri SPT yang mengakibatkan utang pajak menjadi lebih besar dikenakan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan atas jumlah pajak yang kurang dibayar, dihitung sejak saat penyampaian SPT sampai dengan pembayaran karena pembetulan SPT tersebut.
• Pembayaran atau penyetoran pajak dilakukan setelah jatuh tempo pembayaran atau penyetoran pajak dikenakan bunga sebesar 2% (dua persen) sebelan yang dihitung dari jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
• Jumlah kekurangan pajak yang terhutang dalam SPT dikenakan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan, dihitung sejak saat terutangnya pajak sampai dengan diterbitkannya SPT.
• Jangka waktu 10 (sepuluh) tahun lebih telah lewat, SKPKBT tetap dapat diterbitkan ditambah bunga sebesar 48% (empat puluh delapan persen) dari jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar dalam hal wajib pajak dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan.
• Pajak yang terutang menurut SKPKB, SKPKBT, dan tambahan jumlah pajak yang harus dibayar berdasarkan surat keputusan pembetulan, surat keputusan keberatan, atau putusan banding pada saat jatuh tempo pembayaran tidak atau kurang dibayar, maka atas jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar dikenakan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan untuk seluruh masa, yang dihitung dari tanggal jatuh tempo sampai dengan tanggal pembayaran atau tanggal diterbitkan STP, dan bagian dari bulan dihitung 1 (satu) bulan.
• Wajib pajak mengangsur atau menunda pembayaran pajak dikenakan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
• Menunda penyampaian SPT dan ternyata perhitungan sementara pajak yang terutang kurang dari jumlah pajak sebenarnya, maka atas kekurangan tersebut dikenakan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan yang dihitung dari saat berakhirnya kewajiban penyampaian SPT sampai dengan tanggal dibayarnya kekurangan pembayaran tersebut.
Direktur Jenderal Pajak (KPP) akan dikenakan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan dalam hal :
• SKPLB terlambat diterbitkan
• Pengajuan keberatan dan banding diterima sebagian atau seluruhnya
• Terlambat pengembalian kelebihan pembayaran pajak.
Contoh 3
Jika pada contoh 2 diatas pajak kurang bayar dibayar bersamaan dengan penyampaian SPT
Diminta :
Hitunglah pajak yang dibayar oleh PT. Trimitra
Penyelesaian :
Pajak yang terhutang Rp. 15.000.000,00
Bayar tepat waktu Rp. 10.000.000,00
Pajak kurang bayar Rp. 5.000.000,00
Sanksi bunga : 2% x 3 x Rp. 5.000.000,00 Rp. 300.000,00
Sanksi denda Rp. 100.000,00
Pajak yang masih harus dibayar Rp. 5.400.000,00
3). Kenaikan
Wajib pajak dikenakan sanksi administrasi berupa kenaikan apabila :
• Pajak yang kurang dibayar atau timbul sebagai akibat dari pengungkapan ketidakbenaran pengisian SPT dikenakan kenaikan sebesar 50% (lima puluh persen) dari pajak yang kurng dibayar, dan harus dilunasi sendiri oleh wajib pajak sebelum laporan tersendiri disampaikan (PPh Pasal 25)
• Kekurangan pajak yang terutang dalam SKPKBT, ditambah dengan kenaikan sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah kekurangan tersebut (PPh Pasal 21, 22, 23 dan 26)
• 100% (seratus persen) dari PPN dan PPnBM yang tidak atau kurang dibayar
Sanksi berupa kenaikan apabila SPT tidak disampaikan dan setelah ditegur oleh fiskus juga tidak disampaikan oleh wajib pajak dalam batas waktu yang ditentukan dalam surat teguran.
Contoh 4
Pada bulan Juli 2004 PT. Trimitra terhutang PPN sebesar Rp. 100.000.000,00. KPP menerbitkan SKPKB pada tanggal 10 Oktober 2004
Diminta :
Hitunglah pajak yang dibayar oleh PT. Trimitra
Penyelesaian :
Pajak yang terhutang Rp. 100.000.000,00
Pajak yang dibayar Rp. 0,00
Pajak kurang bayar Rp. 100.000.000,00
Sanksi kenaikan 100% x Rp. 100.000.000,00 Rp. 100.000.000,00
Pajak yang masih harus dibayar Rp. 200.000.000,00
Contoh 5
Jika pada contoh 4 diats pajak yang terhutang baru dibayar pada tanggal 9 Oktober 2004
Diminta :
Hitunglah pajak yang dibayar oleh PT. Trimitra
Penyelesaian :
Pajak yang terhutang Rp. 100.000.000,00
Sanksi : 2% x 3 Rp. 10.000.000,00 Rp. 6.000.000,00
Pajak yang harus dibayar Rp. 106.000.000,00
4). Sanksi Pidana
Sanksi pidana yaitu sanksi yang dikenakan apabila terjadi tindak pidana perpajakan yang dilakukan oleh wajib pajak, atau pihak lain yang ditunjuk sebagai wakil atau kuasa wajib pajak. Sanksi pidana dikenakan juga terhadap instansi pajak yang membocorkan rahasia wajib pajak yang diberitahukan kepadanya.
Sanksi pidana terdiri atas :
a) Pidana Kurungan
Setiap orang yang karena kealpaannya :
• Tidak menyampaikan SPT, atau
• Menyampaikan SPT, tetapi isinya tidak benar dan tidak lengkap atau melampirkan keterangan yang isinya tidk benar sehingga dapat merugikan pada pendapatan negara dipidana dengan pidana perpajakan 2005-2006 kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan atau denda paling tinggi 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar.
b). Pidana Penjara
Barang siapa dengan sengaja :
• Tidak mendaftarkan diri atau menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) atau Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak (PPKP) sebagai mana dimaksud dalam pasal 2 atau
• Tidak menyampaikan SPT, atau
• Menyampaikan SPT dan atau keterangan yang isinya tidak benar, atau tidak lengkap, atau
• Menolak untuk dilakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 29 atau
• Memperlihatkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen lain yang palsu atau dipalsukan seolah-olah benar, atau
• Tidak menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan, tidak memperlihatkan atau tidak meminjamkan buku, catatan atau dokumen lainnya, atau
• Tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut, sehingga menimbulkan kerugian pada pendapatan negara, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling tinggi 4 (empat) kali jumlah pajak yang terutang yang tidak atau kurang dibayar
• Pidana sebagaiman dimaksud point 1 sampai dengan 7 diatas dilipatkan 2 (dua) lewat 1 tahun, terhitung sejak selesainya menjalani pidana penjara yang dijatuhkan
- Pejabat instansi pajak yang dikenakan penjara kurungan apabila karena kealpaan tidak memenuhi kewajiban merahasiakan segala sesuatu yang diberitahukan oleh wajib pajak karena jabatannya, dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp. 4.000.000,00 (empat juta rupiah)
- Pejabat instansi pajak yang dikenakan sanksi pidana penjara apabila karena kesengajaan tidak memenuhi kewajibannya atau seseorang yang menyebabkan tidak dipenuhinya kewajiban tenaga ahli yang ditunjuk Dirjen Pajak (Pasal 34) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp. 10.000.000 (sepuluh juta rupiah)
- Setiap orang yang menurut pasal 35 UU Perpajakan Tahun 2000 tentang KUT wajib memberikan keterangan atau bukti yang diminta tetapi dengan sengaja tidak memberi keterangan atau bukti, atau memberikan keterangan atau bukti yang tidak benar, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp. 10.000.000 (sepuluh juta rupiah)
- Penunututan terhadap tindak pidana yang dilakukan pejabat, dilakukan hanya atas pengaduan ari wajib pajak yang kerahasiannya dilarang.
- Tindak pidana perpajakan tidak dapat dituntut setelah lampau sepuluh tahun sejak berakhirnya masa pajak.
Contoh
Pada tahun pajak 2003 PT. Trimitra terhutang pajak Rp. 10.000.000,00. Dari hasil penelitian KPP menyebutkan bahwa PT. Trimitra dengan sengaja tidak membayar pajak yang terhutang.
Diminta :
Hitunglah pajak yang harus dibayar oleh PT. Trimitra
Penyelesaian :
Pajak yang terhutang Rp. 10.000.000,00
Sanksi denda 4 x Rp. 10.000.000,00 Rp. 40.000.000,00
Pajak yang harus dibayar Rp. 50.000.000,00
Dari urai di atas dapat disimpulkan bahwa sanksi pidana terdiri atas sanksi pidana khusus (murni) yaitu pidana penjara dan kurungan dan sanksi pidana tambahan yaitu pidana berupa denda. Dengan demikian sanksi dalam perpajakan merupakan perpaduan antara sanksi administrasi dan sanksi pidana, artinya dapat dikenakan sanksi administrasi saja atau sanksi pidana saja atau kedua-duanya.
2. Sanksi Materai
Sanksi yang terutang Bea Materai adalah :
a. Sanksi Administrasi
Apabila dokumen tidak atau kurang dilunasi Bea Materai sebagaimana mestinya, dikenakan denda administrasi sebesar 200% dari Bea Materai yang tidak atau kurang dibayar, dengan cara pemeteraian kemudian.
Cara pelunasan dengan cara pemeteraian kemudian yaitu :
Dokumen yang dibuat di luar negeri pada saat digunakan di Indonesia harus telah dilunasi Bea Materai. Pemeteraian kemudian atas dokumen tersebut dilakukan oleh pejabat pos menurut tata cara yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan. Hubungan antara pemeteraian kemudian dengan denda administrasi adalah pemeteraian kemudian tanpa denda dan dengan denda 200 %.
Pemeteraian kemudian tanpa denda meliputi :
1) Dokumen luar negeri yang belum digunakan
2) Surat-surat biasa dan surat kerumah tanggaan, sebagai alat bukti di pengadilan
3) Dokumen yang semula tidak dikenakan Bea Materai berdasarkan tujuannya atau dipergunakan oleh orang lain (sebagai alat bukti di pengadilan).
Pemeteraian kemudian dengan denda 200% meliputi :
1) Semua dokumen yang semestinya dikenakan Bea Materai tetapi tidak atau kurang dibayar Bea Materainya.
2) Dokumen luar negeri sudah dipakai sebagai dokumen di Indonesia baru dimateraikan.
Contoh :
1) Dokumen yang seharusnya dikenakan Bea Materai sebesar Rp. 3000 tetapi tidak diberi materai
Bea Materai yang tidak dibayar Rp. 3.000,00
Denda administrasi (200%) Rp. 6.000,00
Jumlah pemeteraian kemudian Rp. 9.000,00
2) Dokumen yang seharusnya dikenakan Bea Materai sebesar Rp. 6.000 tetapi tidak diberi materai
Bea Materai yang tidak dibayar Rp. 3.000,00
Denda administrasi (200%) Rp. 12.000,00
Jumlah pemeteraian kemudian Rp. 18.000,00
Sanksi administrasi juga dikenakan terhadap :
1) Pejabat pemerintah, hakim, panitera, jurusita, notaris dan pejabat umum lainnya, masing-masing dalam tugas dan jabatannya. Mereka tidak dibenarkan:
• Menerima, mempetimbangkan atau menyimpan dokumen yang Bea Materainya tidak atau kurang dibayar.
• Meletakan dokumen yang Bea Materainya tidak atau kurang dibayar sesuai dengan tarifnya pada dokumen lain yang berkaitan.
• Membuat salinan, tembusan, rangkapan atau petikan dari dokumen yang Bea Materainya tidak atau kurang dibayar.
• Memberikan kekurangan atau catatan pada dokumen yang tidak atau kurang dibayar sesuai dengan tarif Bea Materai
2) Pejabat pemerintah/pegawai negeri yang karena jabatannya melanggar ketentuan Bea Materai dikenakan sanksi administrasi antara lain :
• Dengan teguran, peringatan
• Tunda kenaikan gaji/pangkat
• Diberhentikan
b. Sanksi Pidana
Sanksi pidana dikenakan terhadap :
1) Pemalsuan Meterai Tempel dan Kertas Materai dan tanda tangan untuk :
• Mensahkan materai, menyimpan, menjual, menawarkan, menyerahkan, menggunakan atau menyediakan untuk dijual.
• Menyimpan semua bahan atau perkakas yang diketahui untuk meniru dan memalsukan benda materai.
Sanksi terhadap pemalsuan tersebut dapat berupa penjara atau kurungan berdasarkan keputusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum.
2) Dengan sengaja menggunakan cara lain untuk pelunasan Bea Materai, tanpa seijin Menteri Keuangan, dipidana dengan penjara selama-lamanya 7 (tujuh) tahun.
c. Penangung Jawab Sanksi
1) Untuk sanksi administrasi adalah pemegang dokumen
2) Untuk sanksi pidana adalah sesuai Keputusan Pengadilan
Langganan:
Postingan (Atom)